Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘perayaan imlek’

Dulu, Main Liong Takut Didatangi Petugas Koramil

Sejak 1965, segala bentuk budaya Tionghoa dibungkam Pemerintahan Orde Baru. Angin keterbukaan pada era reformasi sejak 1998 membuat budaya Tionghoa tampil lagi. Bahkan, mulai 2003 ini, Imlek dijadikan hari libur nasional. Bagaimana isi hati etnis Tionghoa Solo soal ini?

TANGGAL 1 Februari 2003 ditetapkan sebagai hari libur nasional untuk menghormati Tahun Baru Imlek atau 1 cia gwee 2554. Tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tak pernah menetapkan 1 cia gwee sebagai hari libur nasional. Penetapan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional yang dilakukan pemerintah mulai 2003 itu rupanya menimbulkan reaksi beragam di kalangan etnis Tionghoa Solo. Ada yang merasa senang, tapi ada juga yang memiliki perasaan biasa-biasa saja.

”Sebagai pribadi, penetapan tahun baru imlek sebagai hari libur nasional itu tidak menimbulkan perasaan yang luar biasa. Sebab, saya lahir di sini, besar juga di sini. Kalau bapak saya masih hidup, mungkin perasaannya sangat lain, mungkin saja sangat bahagia karena bapak saya lahir di Tiongkok,” ujar Willy Tandyo, salah seorang etnis Tionghoa warga Pasar Kliwon.

Kendati demikian, Willy sangat menghargai langkah pemerintah Indonesia yang kini bersedia menetapan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. ”Saya sangat menghargai pemerintah. Sebab, perlakukan yang diskriminatif sudah mulai dihapus,” ujar Willy.

Keterangan senada dilontarkan Joko Pranantyo, Sekjen Perkumpulan Hoo Hap (rukun gabung), sebuah Perkumpulan etnis Tionghoa di Solo, yang dihubungi secara terpisah. ”Berbahagialah warga etnis Tionghoa di Indoensia karena saat ini kita sudah dianggap sama dengan yang lainnya. Paling tidak, etnis Tionghoa sudah diperlakukan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Tidak seperti dulu yang selalu disembunyikan.Padahal, kita ini ada,” ujar Joko yang juga dikenal dengan nama Lie Kok Ping.

Anehnya, di kalangan etnis Tionghoa yang ditemui Radar Solo, ternyata ada juga yang enggan memberikan komentar tentang perasaan pribadinya setelah Tahun Baru Ilmek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Menurut Willy Tandyo, hal itu wajar. ”Karena mereka khawatir ada jadi rerasan,” ujarnya.

Apa maksudnya jadi rerasan, Willy tak menjelaskannya.Namun, seorang tokoh tua Tionghoa yang enggan disebut namanya mengatakan, masih ada sisa-sisa trauma warga Tionghoa karena bertahun-tahun ”dibungkam” pemerintah Orde Baru. ”Dulu, menampilkan Liong untuk kelengkapan ritual di klenteng saja harus sembunyi-sembunyi. Kita takut didatangi petugas Koramil, karena memang dilarang,” ujar tokoh yang wanti-wanti tak disebutkan namanya ini.

Kini, pemberangusan terhadap kesenian dan budaya tersebut telah menjadi masa lalu. Bahkan, dalam perayaan Imlek tahun ini, enam perkumpulan etnis Tionghoa di Solo bergabung membentuk panitia khusus untuk memperingati Imlek secara terbuka. Di antaranya menampilkan tiga grup Barongsai untuk dikiriab. Keenam perkumpulan itu adalah Fu Jing, Perkumpulan Hoo Hap, Persatuan Masyarkat Surakarta (PMS), Himpunan Persaudaraan Hakka Surakarta, Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN), dan Forum Komunikasi Guru Bahasa Tionghoa (FKGBT) Solo.

”Ini merupakan ungkapan syukur kami karena perlakukan diskriminatif yang berlangsung sekitar tiga dasa warsa sudah tidak ada lagi,” ujar Adjie Chandra, salah seorang rohaniawan dari Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN) Solo. Selain itu, perayaan tidak dilakukan dengan acara yang bernuansa hura-hura, tetapi berupa bakti sosial berupa pengobatan massal di lima kecamatan dan pemberian santuan kepada yayasan umat agama lain.

Punya Dua Makna: Tradisi dan Ritual Keagamaan

MAKNA peringatan Tahun Baru Imlek bagi warga Tionghoa di Solo rupanya tidak seragam. Sebagian beranggapan bahwa peringatan Imlek hanya sebagai tradisi warisan leluhurnya dari Tiongkok. Namun, ada juga yang memaknainya sebagai peringatan hari keagamaan Konghucu. Mengapa demikian?

SEORANG pengamat budaya Tionghoa dari Himpunan Perkumpulan Hakka Surakarta, Iswahyudya, pernah menegaskan, perayaan Tahun Baru Imlek bukan sebagai perayaan hari keagamaan. Alasannya, perayaan Imlek itu sudah ada sebelum kalender Imlek yang dipakai saat Ini ditetapkan sebagai penanggalan resmi. Sekretaris Perkumpulan Hoo Hap Solo Joko Pranantyo juga beranggapan demikian. ”Perayaan Tahun Baru Imlek itu tidak lebih sekedar tradisi para leluhur dari Tiongkok. Konon, perayaan ini adalah untuk menyambut datangnya musim semi saatnya para petani di Tiongkok mulai bercocok tanam,” katanya.

Keterangan serupa juga dipaparkan Willy Tandyo, salah seorang etnis Tionghoa warga Pasar Kliwon. ”Bagi saya, perayaan tahun baru Imlek itu hanya sebagai tradisi.”

Sementara Adjie Chandra, salah seorang rohaniawan dari Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN) Solo, punya pandangan lain. Menurut dia, perayaan datangnya Tahun Baru Imlek merupakan bagian dari peringatan keagamaan, Konghucu. Adjie mengakui bahwa munculnya perbedaan makna peryaan Tahun Baru Imlek tersebut tidak lepas dari sejarah lahirnya kalender Imlek sendiri.

Adjie mengakui bahwa penanggalan Imlek memang cukup unik. Penanggalan Imlek awalnya berdasarkan perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi (lunarcalender) yang sudah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Namun, penanggalan imlek juga memperhitungkan peredaran bumi mengelilingi matahari (solar calender). Karena itu, dalam kalender Imlek terjadi penyesuaian melalui mekanisme ‘Lun Gwee’ (bulan ulang). Yakni penyisipan dua bulan tambahan yang dilakukan setiap lima tahun.

Menurut catatan sejarah, penanggalan Imlek di Tiongkok sudah dimulai sejak 2637 SM (sebelum masehi), yakni semasa Kaisar Oet Tee/Huang Ti (2698-2598 SM). Namun, setiap terjadi pergantian dinasti, sistem penanggalan yang dipakai juga sering berganti. Penanggalan Dinasti Ke/Hsia (2205-1766 SM) memakai penanggalan yang dikenal dengan sebutan He Lek, yakni penanggalan berdasarkan solar yang penetapan tahun barunya bertepatan dengan tibanya musim semi. Sementara Dinasti Sing/Ien (1766-1122 SM) menetapkan tahun barunya mengikuti Dinasti He, yakni jatuh pada akhir musin dingin.

Namun, menurut Adjie, Nabi Khongcu yang hidup pada zaman Dinasti Cou/Chin (1122-255 SM) akhirnya memilih penanggalan Dinasti He dianggap yang paling tepat. Karena itu, Nabi Khongcu pernah bersabda: “Pakailah penanggalan Dinasti He …” Kenapa penanggalan Dinasti He dianggap paling baik? ”Pertimbangan Nabi Khongcu, karena penanggalan Dinasti He dianggap cukup baik bagi pedoman untuk mewujudkan kesejahateraan umat manusia,” jelas Adjie.

Bahkan, ketika Kaisar Han Bu Tee (140-86 SM) dari Dinasti Han (206 SM-220) menetapkan agama Konghucu sebagai agama negara, juga menetapkan penanggalan He Lek sebagai kalender resmi, baik masyarakat maupun pemerintahan. Sedangkan tahun pertamanya dihitung dari tahun kelahiran Nabi Khongcu, yaitu 551 SM. Karena itu, penanggalan Imlek dan penanggalan masehi berselisih 551 tahun. ”Karena penanggalan itu dihitung sejak Nabi Khongcu lahir maka tahun Imlek juga lazim disebut sebagai Khongculek,” jelas Adjie.

SUTRISNO BUDIHARTO (SUGENG TILE), Solo (RADAR SOLO, Februari 2003)

Read Full Post »

Salah satu warisan kesenian Tionghoa di Tanah Air dan yang kini sulit ditemui dan nyaris punah akibat jarang dipentaskan adalah Wayang Potehi.

Seiring kebebasan berekspresi belakangan ini Wayang Potehi kembali dimainkan, seperti yang dipentaskan oleh seorang dalang Wayang Potehi di Semarang, dalam menyemarakkan peringatan Tahun Baru Imlek. Bagi kalangan orang tua warga Tionghoa, menonton petunjukan Potehi adalah nostalgia dimasa kanak – kanak mereka, dimana saat itu Wayang Potehi kerap dipentaskan.

Wayang yang bentuknya serupa dengan wayang golek ini, merupakan kesenian warisan leluhur Tionghoa di Tanah Air, yang usianya telah mencapai ratusan tahun. Banyaknya kaum muda Tionghoa yang tidak mengenal jenis kesenian ini adalah hal yang wajar, karena Wayang Potehi memang jarang dipentaskan.

Sejak tahun 1967, Wayang Potehi dilarang dipentaskan seiring dengan kondisi politik nasional saat itu. Namun belakangan, Wayang Potehi kembali dipentaskan lagi meski sangat jarang diketemui. Satu dari sedikit dalang Wayang Potehi tersisa yang saat ini adalah Thio Tiong Jie, seniman keturunan Thionghoa warga Semarang yang telah menekuni dunia Wayang Potehi sejak tahun 50 an.

Dalam suasana perayaan Imlek Wayang Potehi kini kerap dimainkan, seperti yang dipentaskan dalam Thio Tiong Jie di wawasan pecinan Semarang Tengah. Kali ini cerita yang dimainkan pria berusia 75 tahun ini adalah kisah Sie Jien Kwui menyerang kota Kien Haek Wan.

Cerita Wayang Potehi biasanya mengambil lakon sejarah kerajaan Cina tempo dulu, hingga kisahnya sub warga keturunan di Tanah Air, seperti halnya kesenian wayang lainnya. Pentas Wayang Potehi juga diiringi dengan alunan musik berupa musik asli tempo dulu dari Cina. (Agus Hermanto/Dv/Sup/indosiar.com)

Read Full Post »

Didi Syafirdi – detikNews

Jakarta – Menyambut Hari Raya Tahun Baru Cina atau Imlek barongsai sepanjang 100 meter disiapkan. Barongsai raksaksa ini akan diarak oleh 300 orang siswa dari Trinity International School menuju Central Park, Jakarta Barat.

“Barongsai dibawa besok pukul 15.00 WIB dari depan sekolah menuju Central Park,” ujar Pemilik Yayasan Trinity International School, Paulina Hartana, saat berbincang dengan detikcom, Kamis (11/2/2010).

Ide awal menciptakan barongsai dari 7.668 botol air mineral dengan tinggi 3,68 meter itu, diakui oleh Paulina, karena dirinya sering melihat murid-murid di Trinity yang membawa minum. Namun, setelah habis botolnya langsung dibuang begitu saja.

“Dari situ terlintas untuk mendaur ulang botol-botol ini,” ungkapnya.

Pembuatan Barongsai ini juga tidak memakan waktu lama hanya satu minggu, dibantu oleh 15 orang kru. Paulina sengaja memilih membuat barongasi karena beberapa hari lagi Imlek.

“Karena mau Imlek makanya terfikir membuat barongasi,” ungkapnya.

Barongsai ini menurut Paulina, merupakan yang terpanjang di Indonesia. Umumnya barongsai pada hari Imlek hanya 3-4 meter. “Barongasi ini masuk dalam rekor MURI, sebagai barongasai terpanjang” tandasnya.

Sumber: http://www.detiknews.com/read/2010/02/11/201237/1297956/10/sambut-imlek-barongsai-sepanjang-100-meter-disiapkan

Read Full Post »

Jakarta memiliki seratus lebih kelenteng. Salah satunya kelenteng tua Jin De Yuan di kawasan Pecinan Lama, Glodok, Jakarta Barat. Kelenteng ini dibangun tahun 1650 oleh seorang Luitnant Tionghoa bernama Kwee Hoen dan menamakannya Koan lm Teng atau berarti Paviliun Koan lm.

Tahun 1755, kelenteng ini dipugar Kapitein Oei Tjhie dan diberi nama Kim Tek Ie atau Kelenteng Kebajikan Emas. Kim Tek Ie berdiri di atas tanah seluas 3000 meter persegi. Termasuk bara besar atau Tay Bio karena memliki beberapa bangunan. Kini kelenteng yang masih berdiri kokoh ini, bernama Wihara Dharma Bhakti, namun orang lebih sering menyebutnya Petak Sembilan.

Kelenteng Petak Sembilan dikelilingi tembok. Pintu utamanya berada di selatan yang berupa gapura naga merah. Sebelah kiri gerbang ada tiga bangunan kelenteng yang berderet. Di halaman kedua terdapat kelenteng utama menghadap ke selatan berikut dua singa (Bao Gu Shi) yang konon berasal dari Provinsi Kwangtung, Tiongkok Selatan.

Gedung utama Petak Sembilan didominasi warna merah. Atap bangunannya melengkung ke atas, berhias sepasang naga. Di dalam ruangannya terdapat puluhan film berukuran besar, setinggi badan orang dewasa dan ratusan lilin-lilin kecil yang menyala. Bau asap dupa bertebaran menebarkan aroma khas hingga ke luar ruangan. Di bagian samping kiri gedung utama terdapat bekas kamar-kamar para rahib. Sedangkan di pojok kanan halaman belakang terdapat sebuah lonceng buatan tahun 1825 yang merapakan lonceng tertua dari semua kelenteng di Jakarta.

Menjelang perayaan Imlek, biasanya para petugas di kelenteng ini sibuk membersikan dan mengecat ulang pagar besi dengan cat berwarna merah. Kelenteng ini tak pernah sepi pengunjung, terutama masyarakat Tionghoa yang ingin bersembahyang. Banyak pula para peziarah dan wisatawan yang datang sambil melihat aktivitas ritual pengunjungnya. Keindahan dan kekhasan kelenteng ini, juga kerap dijadikan obyek pemotretan para penggemar fotograpi dan juga lokasi syuting video musik.

Pernak-pernik Khas

Selain kelenteng, kemeriahan menjelang imlek sangat terasa kalau kita berada di Pasar Petak Sembilan di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Terlebih 10 hari menjelang Imlek Banyak warga keturunan Tionghoa dari berbagai pelosok Jakarta datang ke pasar ini untuk membeli perlengkapan khas dalam merayakan datangnya Tahun Baru Cina.

Menjelang Imlek, sejumlah penganan dan pernak-pernik khas imlek laku keras. Kue keranjang berupa dodol khas China yang dibungkus daun atau plastik, banyak diburu pembeli. Apalagi penjualnya mengemas kue keranjang dengan kardus-kardsus cantik berwarna merah. Kue keranjang banyak diburu pembeli karena selain untuk dimakan sendiri dan diantar ke sanak keluarga juga untuk sembahyang.

Aneka manisan kering seperti kana, buah plum dan kulit jeruk yang dimaniskan juga banyak dijual di pasar ini. Ada yang belum dikemas ada juga yang sudah dalam kemasan kardus yang disekat. Makanan yang berasa manis seperti manisan dan permen memang juga dicari pembeli. Masyarakat Tionghoa menganggapnya sebagai perlambang hidup yang manis. Oleh karena itu kedua camilan ringan itu kerap disuguhkan saat merayakan Imlek agar tahun baru membawa kemanisan.

Buah-buahan khas imlek juga menjadi incaran pembeli, seperti jeruk, leci dan buah plum. Aneka jeruk terutama jeruk mandarin, Io dan juga jeruk Bali banyak diborong pembeli. Jeruk dianggap warga Tionghoa sebagai buah yang melambangkan persaudaraan dan kerukunan.

Berada di Pasar Petak Sembilan terlebih menjelang imlek, di antara kerumunan penjual dan pembeli, jelas memberikan nuansa tersendiri. Pasar ini menghadirkan atmosfir yang berbeda dibanding pasar tradisional lain. Deretan lampion dan pernak-pernik khas imlek lain yang berwarna merah yang dijajakan pedagang di sisi kiri kanan jalan, seakan membawa kita berada di salah satu sudut keramaian di negeri China.

Sumber: Majalah Travel Club

Read Full Post »

Beberapa tahun lalu, pemerintah Indonesia menyatakan, perayaan Imlek sebagai hari libur nasional. Sejak itu menjamur berbagai model perayaan Imlek yang ditawarkan berbagai kalangan, terutama dunia perdagangan.

Sekarang pun ada banyak anggota masyarakat Indonesia yang dengan penuh semangat merayakan Imlek. Mereka yang tidak merayakan Imlek pun tidak terlalu dirugikan, paling tidak bisa menikmati kesempatan berlibur pada hari raya itu.

Penekanan perayaan Imlek tanpa memerhatikan konteks Indonesia akan menyebabkan irrelevansi perayaan itu bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Misalnya, Imlek ditekankan sebagai perayaan musim semi. Indonesia tidak mengenal adanya empat musim. Karena itu, pemasangan pernik-pernik lambang musim semi tidak akan banyak menolong penghayatan perayaan Imlek.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural, penekanan secara berlebihan perayaan Imlek akan dapat meninggalkan permasalahan yang dapat membahayakan keutuhan bangsa.

Namun, pelarangan atau pengendalian berlebihan atas praktik perayaan Imlek di Indonesia akan merupakan langkah mundur dari usaha perwujudan nilai reformasi yang telah diperjuangkan bersama.

Daripada membuat permasalahan yang tidak perlu, akan jauh lebih bermanfaat bila bangsa Indonesia mulai mencari dan menemukan hal-hal penting dan layak untuk dirayakan bersama pada setiap hari libur nasional yang dimiliki, termasuk makna spiritual Imlek.

Pada gilirannya, demi kepentingan bersama, perkembangan perayaan Imlek perlu dicermati bersama. Pertanyaannya, perayaan Imlek macam apa yang perlu dikembangkan bangsa Indonesia? Ini menjadi relevan untuk dijawab.

Makna spiritual Imlek

Perayaan Imlek yang dirayakan oleh berbagai bangsa (China, Jepang, Korea, Vietnam, dan lainnya) selama berabad-abad menyediakan makna spiritual yang amat kaya, bahkan mampu berperan dalam menyatukan mereka dalam semangat hidup yang sama.

Mengingat Imlek bukan perayaan keagamaan, maka “makna spiritual” perayaan Imlek tidak pertama-tama digali dalam ajaran agama tertentu. Semula, Imlek merupakan perayaan petani. Makna spiritual Imlek perlu digali dari pengalaman kehidupan dan dunia makna yang berkembang di antara kaum petani. Dalam perjalanan waktu, Imlek juga dirayakan oleh masyarakat yang
bukan dari golongan petani. Karena itu, tidaklah mencukupi pemaknaan spiritual Imlek hanya dibatasi dari dunia pertanian.

Beberapa makna spiritual yang pantas dikedepankan, antara lain:

Pertama, kasih sebagai faktor pemersatu kehidupan. Imlek memperlihatkan pengalaman perjumpaan para petani dengan realitas kehidupan yang ada di sekitarnya. Bagi petani, realitas di dunia ini disatukan, disemangati, ditumbuhkan oleh kasih. Karena itu, mereka menemukan dan menggunakan berbagai macam barang, tanaman, atau binatang yang ada di lingkungan mereka untuk menunjukkan pengalaman kasih yang menghidupkan itu. Mereka mengungkapkan harapan kehidupan yang lebih berkualitas dengan menggunakan obyek-obyek itu. Misalnya, ikan dipandang sebagai lambang kelimpahan berkat kasih yang menghidupkan. Dengan memasang gambar ikan atau memakan ikan, mereka mengharap datangnya kelimpahan itu.

Kedua, Imlek merupakan perayaan pengalaman kasih yang membahagiakan dan terbagikan kepada sesama. Bagi petani, kasih yang membahagiakan itu mereka terima dari kemurahan alam. Karena itu, mereka pun harus belajar bermurah hati kepada sesama. Kasih yang membahagiakan itu layak untuk dinikmati dalam kebersamaan dengan yang lain, dalam semangat solider kepada sesama, terutama yang lemah, miskin, dan papa.
Warna dasar perayaan Imlek adalah merah, yang berarti kebahagiaan dan semangat hidup. Sebagaimana darah dalam nadi, pengalaman hidup yang penuh semangat dan membahagiakan itu harus mengalir dan meresapi berbagai bagian tubuh untuk kehidupan yang lebih baik. Dalam perayaan Imlek, dibagikan kepada anak-anak, orang-orang miskin, sederhana, dan papa, hal-hal yang dapat membahagiakan mereka: uang, makanan, hadiah, atau berbagai bentuk bantuan lain. Dengan berbagi kebahagiaan, kasih yang berlimpah itu diharapkan dapat semakin merasuki berbagai sektor kehidupan mereka dan akhirnya akan memberikan kebahagiaan lebih besar lagi.

Ketiga, pengalaman kasih dimulai di keluarga. Inti kasih itu tidak terletak dalam banyaknya kata-kata, tetapi dalam tindakan untuk saling memberikan diri kepada subyek yang dikasihi. Kemampuan mengasihi seperti ini disadari oleh para petani dan nonpetani, berawal di dalam keluarga. Pusat perayaan Imlek terletak pada kesediaan seluruh anggota keluarga untuk berkumpul bersama, meninggalkan kepentingan diri, dan berbagi pengalaman kasih dalam keluarga. Puncak perayaan itu diungkapkan dengan kesediaan makan bersama, saling menghormati, bercerita pengalaman hidup yang membahagiakan, mengampuni, berbagi rezeki, menyampaikan salam berupa doa atau harapan untuk hidup lebih baik, dan sebagainya.

Keempat, Imlek adalah perayaan kebebasan yang inklusif. Kesederhanaan alam pikiran petani tidak banyak memberi tempat pada rumitnya aturan yang harus ditaati. Pada dasarnya Imlek tidak memiliki aturan baku. Seandainya ada, peraturan itu amat umum, tidak menyertakan hukuman bagi pelanggarnya. Dengan demikian, dunia tidak mengenal adanya model tunggal perayaan Imlek. Setiap pribadi, keluarga, atau kelompok masyarakat apa pun, diizinkan merayakan Imlek dengan segala kemampuan, keterbatasan, latar belakang, simbol, dan sistem pemaknaan masing-masing. Kebebasan seperti ini menjadikan Imlek perayaan yang inklusif karena tidak mengeliminasi siapa pun untuk tidak diizinkan merayakannya.

Disesuaikan kondisi bangsa
Perayaan Imlek yang terlalu mengedepankan sisi glamor dan konsumerisme, mengkhianati makna spiritual yang dijunjung tinggi dalam perayaan Imlek dan akan melukai perasaan banyak orang yang masih hidup dalam kemiskinan. Perayaan semacam itu akan berujung pada eksklusivisme, bukan inklusivitas. Penjiplakan perayaan Imlek dari bangsa lain tanpa memerhatikan suasana batin dan kerohanian yang ada di Indonesia, pada gilirannya dapat menjadi bumerang bagi perkembangan bangsa Indonesia.

Sebaliknya, pengaturan ketat terhadap praktik perayaan Imlek atau penekanan satu model Imlek sebagai warisan kebudayaan bangsa tertentu sama-sama mengkhianati nilai kebebasan yang inklusif yang ditawarkan oleh Imlek.

Pemahaman mendalam terhadap kekayaan makna spiritual yang terkandung dalam perayaan Imlek diharapkan mampu memberi inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk dapat menemukan sendiri model perayaan Imlek yang sesuai nilai-nilai kasih dan kehidupan yang dihayati bangsa Indonesia.
Penemuan model perayaan Imlek yang lebih sesuai dengan konteks kehidupan bangsa Indonesia merupakan pekerjaan bersama yang pantas untuk segera dimulai.

Semoga hari libur nasional Imlek juga dapat menjadi saat yang reflektif dan kreatif bagi penemuan langkah penyelesaian krisis bangsa Indonesia yang sudah berlangsung lama. Gong xi xin nian. Wan shi ru yi.

P Agung Wijayanto-Pengajar Agama dan Kebudayaan Timur Program Studi S2 Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
sumber: KOMPAS – Sabtu, 17 Februari 2007

Read Full Post »

Di kalangan rakyat Tiongkok, banyak terdapat riwayat tentang asal usul Tahun Baru Imlek. Salah satunya ialah, pada zaman purba, terdapat sejenis binatang galak yang bernama Nian. Pada malam terakhir setiap tahun, ia pergi ke setiap kampung dan keluarga, untuk makan manusia. Pada suatu malam, Nian pergi ke sebuah kampung untuk makan manusia lagi, tetapi kebetulan terdapat dua orang kanak-kanak yang sedang bermain cambuk, dan mengeluarkan bunyi yang menakjubkan. Nian setelah terdengar bunyi itu, sangat terkejut dan melarikan diri. Ia pergi ke sebuah kampung lagi, dan melihat sehelai baju merah yang digantung di depan pintu sebuah rumah. Ia berasa tidak nyaman dengan baju merah itu, dan secepat kilat ia melarikan diri. Kemudian ia pergi ke sebuah kampung lagi dan melihat ke dalam satu rumah, dalam rumah itu sangat terang, lalu Nian melarikan diri lagi. Sejak waktu itu, orang sudah tahu Nian takut pada bunyi, warna merah dan cahaya yang terang, dan telah mendapat banyak cara untuk menangkisnya, misalnya menyalakan petasan, menempel kuplet dan memasang lampu, dan ini secara beransur-ansur menjadi adat kebiasaan di tahun baru Imlek.

Kegiatan merayakan Tahun Baru Imlek dimulai sejak tanggal 23 bulan ke-12 tahun Imlek dan sampai 15 bulan pertama tahun kemudian, yaitu pesta Capgomeh, selama hampir sebulan. Dalam masa itu, terdapat banyak jenis kegiatan bagi merayakannya, termasuk dalam kehidupan sehari-hari, istiadat dan hiburan.

Ketika memasuki bulan 12 tahun Imlek, orang Tionghoa sudah mulai menyapu rumah secara besar-besaran. Namun pada malam terakhir tahun itu, setelah makan malam sampai keesokan harinya, menyapu lantai menjadi pantangan besar karena orang Tionghoa beranggapan bahwa mereka yang menyapu lantai pada waktu itu, dia akan mengalami kerugian uang.

Pada saat merayakan Tahun Baru Imlek, orang Tionghoa yang tinggal di Tiongkok Utara maupun Selatan sangatlah mementingkan makanan. Pada malam terakhir setiap tahun, mereka harus makan dan minum bersama-sama, dan makanan juga bermacam-macam. Tetapi lauk ikan amatlah penting dan tidak boleh dihilangkan. Di Tiongkok Utara, pada malam itu, mereka harus makan Jiaozi atau dumpling dengan harapan, semoga bahagia dan kehidupan serba lancar dari tahun ke tahun. Di Tiongkok Selatan, mereka harus makan kue tahun baru agar kehidupan mereka semakin tahun semakin bahagia.

Waktu merayakan tahun baru Imlek, orang Tionghoa biasanya senang menempel dan menggantung kertas merah atau barang perhiasan yang dianggap bertuah di depan pintu, halaman, kamar tidur, dinding, jendela dan perabot supaya suasana menjadi meriah. Adat istiadat menempel kuplet, dewa pintu, lukisan tahun baru seperti itu adalah bertujuan agar tercapai harapan dan doa agar hidup serba lancar, panjang umur dan bahagia.

Adapun berbagai hiburan juga dilakukan dalam suasana perayaan tahun baru Imlek, seperti memasang petasan merupakan kebiasaan yang sangat popular, bertukar teka-teki, mengunjungi pesta di kuil-kuil dan menikmati kecantikan lampu tanglong, lampion. Kegiatan tersebut biasanya dimulai sebelum malam tahun baru hingga mencapai puncaknya pada pesta Capgomeh.

Kebiasaan dalam suasana Tahun Baru Imlek juga banyak. Paling popular adalah saling memberikan kartu tahun baru, saling memberi angpao dan mengucapkan “Selamat Tahun Baru Imlek”. Pada malam terakhir setiap tahun, setelah makan malam bersama, generasi muda mengucapkan “Selamat Tahun Baru” kepada generasi tua, dan generasi tua memberi angpao kepada anak-anak. Pada tanggal 1 bulan pertama tahun Imlek, orang memakai baju yang mewah dan cantik, mereka saling mengucapkan selamat tahun baru dan panjang umur kepada orang tua, kemudian berkunjung ke sanak keluarga dan kawan-kawan. Pada waktu itu, suasana hari raya sangat meriah dan akrab penuh rasa kebersamaan dan kekeluargaan.

Di antara jutaan orang Tionghoa yang ada di dunia ini, ternyata tidak banyak yang mengetahui sejarah dan asal usul Tahun Baru Imlek. Biasanya mereka hanya merayakannya dari tahun ke tahun bila kalender penanggalan Imlek telah menunjukan tanggal satu bulan satu. Jenis dan cara merayakannya pun bisa berbeda dari satu suku dengan yang lain.

Keterbatasan pengetahuan ini dikarenakan luasnya daratan Tiongkok dengan beraneka ragamnya kondisi alam, lingkungan secara geografis maupun demografis, belum lagi secara etnis. Ada yang dimulai dengan sembahyang kepada Tuhan Yang Mahaesa dan para Dewa, serta leluhur, ada pula yang dimulai dengan makan ronde, maupun kebiasaan-kebiasaan lain sebelum saling berkunjung ke sanak saudara sambil tidak lupa membagi-bagi angpau untuk anak-anak, yang tentu saja menerimanya dengan penuh kegembiraan.

Sebenarnya penanggalan Tionghoa dipengaruhi oleh dua system kalender, yaitu sistem Gregorian dan sistem Bulan-Matahari, dimana satu tahun terbagi rata menjadi 12 bulan sehingga tiap bulannya terdiri dari 29½ hari. Penanggalan ini masih dilengkapi dengan pembagian 24 musim yang amat erat hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam. Pembagian musim ini terbukti amat berguna untuk para petani dalam menentukan saat tanam maupun saat panen.

Berikut beberapa contoh pembagian 24 musim tersebut:

– Permulaan musim semi
Hari pertama pada musim ini adalah hari pertama Perayaan Tahun Baru, atau saat dimulainya Perayaan Musim Semi (Chun Jie).
– Musim hujan
Saat hujan mulai turun.
– Musim serangga
Serangga mulai tampak setelah tidur panjangnya selama musim dingin.
– dll (Masih terdapat 21 musim lain yang terlalu panjang untuk dibahas satu persatu)

Selain pembagian musim di atas, dalam penanggalan Tionghoa juga dikenal istilah Tian Gan dan Di Zhi yang merupakan cara unik dalam membagi tahun-tahun dalam hitungan siklus 60 tahunan. Masih ada lagi hitungan siklus 12 tahunan, yang kita kenal dengan “Shio”, yaitu Tikus, Sapi, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam,
Anjing, Babi.

Kesimpulannya, penanggalan Tionghoa tidak hanya mengikuti satu sistem saja, melainkan juga ada beberapa unsur yang mempengaruhi, yaitu musim, lima unsur, angka langit, shio, dll. Walaupun demikian, semua perhitungan hari ini dapat terangkum dengan baik menjadi satu sistem “Penanggalan Tionghoa” yang baik, lengkap dan harmonis bahkan hampir bisa dikatakan sempurna karena sudah mencakup “Koreksi” -nya juga, sebagai contoh adalah “Lun Gwe”, merupakan bulan untuk mengkoreksi setelah satu periode tertentu.

Perayaan Tahun Baru Imlek merupakan sebuah perayaan besar bagi masyarakat Tionghoa. Menggantung lentera merah, membunyikan petasan dan menyembunyikan sapu adalah salah satu keunikan dari perayaan ini. Disamping itu, masyarakat Tionghoa juga akan mulai menempel gambar Dewa Penjaga Pintu pada hari-hari perayaan ini

In Nian Kuaile (Bahagia di Tahun Baru), Guo Nian Hao (Selamat Menjalani Tahun Baru), Chunjie Kuaile (Bahagia di Musim Semi), Sincun Kionghi (Selamat Menyambut Musim Semi yang Baru), Sincia Cuyi (Selamat Tahun Baru), Kiunghi Sinnyen (Selamat Tahun Baru) adalah serangkaian ucapan selamat menyambut Imlek dalam bahasa Mandarin, Hokkian, Tiociu, dan Hakka.

Mengapa di Indonesia hari raya ini disebut Tahun Baru Imlek? Tidak ada satu pun ucapan itu mengandung kata Imlek. Apa arti kata Imlek? Dari bahasa Mandarin-kah? Tidak! Kata Imlek berasal dari bahasa Hokkian Selatan, berarti “penanggalan bulan”. Jadi, kata Imlek sebenarnya mengacu nama penanggalan yang didasarkan perhitungan bulan (lunar), yang dalam bahasa Mandarin disebut yinli. Dengan demikian, istilah Tahun Baru Imlek berarti “Tahun Baru Menurut Penanggalan Bulan”.

Penduduk keturunan Tionghoa di Indonesia menggunakan kata Sincia “bulan 1 yang baru” dengan ucapan Sincun Kionghi “Selamat Menyambut Musim Semi yang Baru” atau Kionghi berarti “Selamat”. Juga ada kata konyan yang berasal dari guo nian (bahasa Mandarin), berarti “melewati tahun yang baru”.

Di negara asalnya, Tiongkok, perayaan Imlek dinamakan Chunjie, berarti “Perayaan Musim Semi”. Kata Chunjie digunakan sejak Tiongkok merdeka. Sebelumnya digunakan istilah Yuandan, berarti pada pertama di tahun yang baru dimasuki. Tahun 1949 Pemerintah Tiongkok menetapkan nama Yuandan untuk Tahun Baru Internasional, 1 Januari, sedangkan Tahun Baru Imlek dinamakan Chunjie.

Upacara menyambut Tahun Baru Imlek adalah Toapekong Naik, dilakukan pada bulan 12 atau Cap Ji Gwee (bahasa Hokkian) / bulan La (bahasa Mandarin) tanggal 23 atau 24.

Kata toapekong bermakna “paman buyut” (saudara laki-laki buyut) dengan makna kiasan “dewa”. Biasanya dewa dianggap orang berusia tua. Toapekong digambarkan sebagai orang yang seusia buyut atau generasi di atasnya.

Pada tanggal 23 / 24 itu, Toapekong yang naik bukan sembarang dewa, tetapi dewa tertentu, yaitu Dewa Dapur bernama Zao Shen. Alias: Kakek Dapur, Raja Dapur, Komandan Dapur Timur, Komandan Kepala Keluarga, Dewa Pelindung Rumah, Dewa Penguasa Penentu Kebahagiaan. Mengingat nama-nama alias itu tidak jauh dari hal seputar rumah tangga, maka dewa ini dianggap sebagai dewa keluarga yang menentukan baik-buruknya nasib suatu keluarga. Di Indonesia Dewa Dapur juga disebut Cao Kun Kong.

Siapa sebetulnya Dewa Dapur ini, mengapa ia begitu dihormati sehingga diadakan upacara khusus, misi apa yang dijalankan? Ada yang mengatakan, ia adalah Kaisar Shen Nong yang mengajari manusia bercocok tanam. Ia pula yang menciptakan api. Dikarenakan jasanya yang besar, setelah wafat ia menjadi dewa yang bernama Zao Shen atau Dewa Dapur.

Misinya, memberi laporan kepada Mahadewa tentang hal baik dan buruk dari keluarga bersangkutan. Karena bersemayam di dapur -di salah satu sudut atau tempat di dapur- ia tahu semua perkara dalam keluarga itu. Di situlah seorang ibu mengomel, ngerumpi bersama ibu-ibu lain, tertawa, dan bercanda bersama anggota keluarga lain sambil mengerjakan urusan rumah tangga. Dewa Dapur yang ada di sana pasti mendengar semua perkataan dan mencatatnya. Tanggal 23 dan 24 Cap Ji Gwee atau bulan 12 adalah saatnya Dewa Dapur naik ke langit, melaporkan seluruh kejadian
selama satu tahun kepada keluarga itu.

Agar Dewa Dapur hanya melaporkan hal yang baik, manusia mencari akal untuk menyenangkan hatinya. Bahkan, manusia sampai memikirkan agar dalam perjalanan menuju langit, kuda tunggangan sang dewa tidak kelaparan, dan hewan peliharaannya di dunia tidak mati kelaparan. Pada tanggal 23 dan 24 itu, rumah Dewa Dapur dibersihkan lalu diberi sesajen. Sesajen ini ada yang wajib; ada yang tidak wajib.

Sesajen wajib berupa permen yang manis, liat, dan lengket, manisan buah kundur yang dikenal sebagai tangkua atau tangkwe. Sesajen tidak wajib berupa roti goreng dan teh, yang merupakan bekal bila sang dewa merasa lapar dan haus. Rumput untuk bekal makanan kuda tunggangan sang dewa, sedangkan kulit tahu untuk ayam peliharaannya yang ditinggalkan di bumi.

Sesajen wajib harus manis supaya sang dewa hanya melaporkan hal-hal yang “manis”. Selain manis, juga harus liat dan lengket. Begitu mengulum permen, mulut sang dewa menjadi sulit dibuka sehingga tidak banyak bicara dan hanya tersenyum saja.

Dengan demikian, lengkaplah “perhatian” manusia dalam menghantar dewanya naik ke langit dengan menyimpan maksud tertentu di balik semua itu. Selain itu, pada rumah dewa dipasang bait berpasangan, kuplet atau duilian berbunyi “naik ke langit mengatakan hal yang baik, pulang ke rumah membawa keberuntungan” , atau “naik ke langit mengatakan hal yang baik, turun ke dunia menjaga perdamaian”.

Di desa Tai Xing, Provinsi Jiangsu, Tiongkok, penduduk desa percaya sebelum berangkat naik ke langit, Dewa Dapur menghitung jumlah sumpit di rumah tempat tinggalnya. Ketika turun ke bumi, rezeki yang dibawanya sesuai jumlah sumpit yang ada. Sebelum upacara sembahyang, kepala keluarga menambah jumlah sumpit dengan harapan pada saat turun ke bumi nanti, Dewa Dapur akan menambah rezeki mereka.

Bulan 12 berakhir pada tanggal 30. Bulan berikutnya adalah bulan 1 yang disebut Cia Gwee (bahasa Hokkian) / bulan Zheng (bahasa Mandarin). Malam terakhir di bulan 12 ini disebut chuxi, yang berarti “malam yang ditinggalkan” , maksudnya malam terakhir di tahun itu yang akan ditinggalkan dalam memasuki tahun baru. Malam itu merupakan malam paling baik, ramai, dan menyenangkan karena merupakan malam menyambut kedatangan hari pertama di tahun yang baru.

Ada tiga kegiatan penting pada malam itu. Sebelum acara makan malam bersama, kepala keluarga memasang petasan. Kemudian, pintu utama rumah ditutup dan disegel dengan kertas merah. Tujuannya, agar hawa dingin-karena saat itu musim dingin- tidak masuk ke rumah.

Kertas merah sebagai lambang uang, merupakan alat untuk menjaga kesejahteraan keluarga. Sesudah pintu ditutup, lalu dipasang perapian dengan tujuan mendapat hawa hangat selain mengusir hawa dingin.

Acara berikutnya, makan malam bersama dengan hidangan wajib berupa ikan. Di Indonesia, misalnya Jakarta, umum disajikan ikan bandeng. Kebiasaan ini mendapat pengaruh dari daerah Tiongkok Selatan. Di Tiongkok Utara ada kebiasaan makan jiaozi (penganan berbentuk pempek kapal selam mini, terbuat dari tepung khusus berisi daging dan sayur). Mengapa makan ikan, bukan binatang lainnya? Alasannya, ada pepatah berbunyi nian nian you yu “setiap tahun ada sisa”. Kata yu yang berarti “sisa” berbunyi sama dengan kata yu yang berarti “ikan”. Kesamaan bunyi itulah yang menyebabkan mengapa ikan menjadi hidangan wajib di malam tahun baru. Dengan makan ikan, berarti dalam segala hal
ada sisa. Tentu saja yang dimaksud adalah kelebihan rezeki. Makanan wajib lainnya, kue keranjang yang disebut nian gao. Kata gao “kue” berbunyi sama dengan gao yang bermakna “tinggi”. Dengan makan kue keranjang, diharapkan rezeki seseorang setiap tahun bertambah tinggi. Buah jeruk menjadi lambang keberuntungan karena lafal kata jeruk dalam
bahasa Mandarin – juzi – mirip ji yang berarti “keberuntungan” .

Saat makan malam itu, di Tiongkok ada kebiasaan memberi angpao kepada anak kecil. Kata angpao berasal dari bahasa Hokkian. Angpao atau hongbao dalam bahasa Mandarin bermakna “bungkusan merah”, tidak mengacu uang yang khusus diberikan pada tahun baru. Nama uang pemberian khusus di tahun baru disebut yasui qian, bermakna “uang
penutup tahun”.

Selesai makan malam, seluruh anggota keluarga bercengkerama, main catur semalam suntuk sambil bermain petasan. Menjelang tengah malam petasan yang dibunyikan semakin banyak dan besar. Pada zaman dulu digunakan juga meriam buluh untuk memperoleh suara dentuman lebih keras lagi. Tujuannya, untuk mengusir setan dan hantu. Malam itu malam terakhir musim dingin yang berasosiasi dengan Yin yang menimbulkan hawa dingin, gelap tanpa sinar bulan sehingga banyak setan berkeliaran.

Keesokan harinya merupakan hari pertama tahun baru, sekaligus menandai dimulainya musim semi. Musim semi berasosiasi dengan Yang yang menimbulkan hawa hangat, tanda-tanda kehidupan dimulai lagi, seperti bunga mulai bermekaran. Malam itu merupakan malam untuk mengucapkan selamat tinggal pada tahun yang sudah dilalui dan menyambut tahun baru yang akan dijalani dengan penuh harapan

Selain penjelasan di atas, dari sumber lain disebutkan bahwa melacak sejarahnya, Imlek bukanlah perayaan keagamaan tertentu, melainkan upacara tradisional masyarakat Tiongkok. Di Tiongkok, Imlek diperingati bersama oleh warga yang beragama Konghucu, Buddha, Hindu, Islam, Katolik dan Kristen. Awalnya dahulu, Imlek atau Sin Tjia merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama awal tahun baru.

Perayaan itu juga berkaitan dengan pesta menyambut musim semi, yang dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Capgomeh. Tujuannya, tak lain sebagai syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, di samping untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan
kerabat dan tetangga.

Karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani, maka segala bentuk persembahannya berupa berbagai jenis makanan. Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Di Tiongkok, hidangan yang wajib adalah mie panjang umur (siu mi) dan arak. Di Indonesia, dipilih hidangan yang berasosiasi pada makna “kemakmuran” , “panjang umur”, “keselamatan” , atau “kebahagiaan” dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur.

Kue-kue yang dihidangkan biasanya lebih manis daripada biasanya, sebagai simbol harapan akan kehidupan yang lebih manis di tahun baru. Dihidangkan pula kue lapis sebagai perlambang rejeki yang berlapis-lapis, kue mangkok dan kue keranjang. Bubur sangat dihindari sebagai hidangan di hari ini karena dianggap melambangkan kemiskinan.

Kedua belas hidangan itu lalu disusun di meja sembahyang yang bagian depannya digantungi dengan kain khusus yang biasanya bergambar naga berwarna merah. Pemilik rumah lalu berdoa memanggil para leluhurnya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan. Di malam tahun baru orang-orang biasanya bersantap di rumah atau di restoran. Setelah selesai makan malam mereka bergadang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rejeki bisa masuk ke rumah dengan leluasa.

Tujuh hari sesudah Imlek dilakukan persembahyangan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Dan, lima belas hari sesudah Imlek dilakukan suatu perayaan yang disebut dengan Capgomeh. Masyarakat keturunan Tionghoa di Semarang merayakannya dengan menyuguhkan lontong Capgomeh yang terdiri dari lontong, opor ayam, lodeh terung, telur pindang, sate abing, dan sambal docang. Sementara di Jakarta, menunya adalah lontong, sayur godog, telur pindang, dan bubuk kedelai.

Selamat tahun baru Imlek….!!!

Sincun Kionghie…! !!

Gong Xi Fa Chai…!!!

Keterangan : Disarikan dari berbagai sumber

Read Full Post »

Tradisi Persiapan Untuk Hari Raya Imlek

  • Membersihkan tempat usaha serta tempat tinggal seminggu sebelum hari imlek tiba. Tradisi ini menandakan menghilangkan semua yang lama dan menyambut sesuatu yang baru. Tradisi yang ada percaya bahwa pada hari imlek, sebaiknya tidak melakukan bersih-bersih karena dapat menghilangkan rejeki baru yang datang.
  • Rumah dihias dengan bunga-bunga segar dan pohon kecil yang menandakan keberuntungan.
  • Menggantungkan hiasan-hiasan kertas yang bertuliskan puisi-puisi keberuntungan di dinding. Umumnya hiasan tulisan tersebut digantungkan berpasangan menggunakan kertas berwarna merah. Ini melambangkan harapan yang baik untuk kebahagiaan, kesehatan dan lainnya.
  • Menyediakan sepiring jeruk di tengah meja yang menandakan keberuntungan. Biasanya jeruk disusun berbentuk pyramid. Selain jeruk, juga bisa digunakan apel merah yang memiliki arti yang sama.
  • Membeli baju baru dan menggunting rambut. Ini dipercaya akan membawa keberuntungan untuk satu tahun ke depan.
  • Membayar lunas seluruh hutang yang ada.

Malam Menjelang Hari Raya Imlek

  • Semua keluarga berkumpul bersama menikmati makan malam besar bersama dengan menu dan makanan yang spesial.
  • Anak-anak dibiarkan bermain hingga larut malam. Karena dipercaya semakin malam anak bermain, semakin panjang umur bagi orang tuanya.
  • Bermain kembang api untuk mengusir hawa buruk.
  • Menyambut dan mengundang Dewa dapur ke rumah dengan menyalakan kembang api.
  • Memberikan Ang Pao atau amplop merah berisi uang. Ini dipercaya dapat membuat anak-anak tidak cepat menjadi tua.
  • Mengunjungi tempat ibadah untuk berdoa, baik kepada leluhur maupun untuk kedamaian, kebahagiaan serta keberuntungan di tahun baru.
  • Mengirimkan kartu ucapan tahun baru kepada teman-teman dan keluarga.

Di Hari Raya Imlek

  • Membuka seluruh pintu dan jendela.
  • Hati-hati dengan ucapan serta tindakan anda. Ucapkan kata dan berbuat tindakan yang baik. Karena dipercaya, apa saja yang terjadi di hari raya imlek akan menentukan keberuntungan keluarga selama setahun mendatang.
  • Memakai baju baru.
  • Tidak di cuci karena dipercaya keberuntungan dapat tercuci habis.
  • Mengunjungi keluarga dan teman dengan membawa hadiah, berupa tanaman, bunga atau makanan.
  • Berusaha untuk tidak memecahkan sesuatu, karena membawa nasib kurang baik.
  • Menikmati makanan spesial di hari raya imlek. Di hari spesial ini, umumnya masyarakat China menikmati makanan yang disebut 8 jenis nasi berharga. Makanan ini dibuat dari beras ketan yang mewakili permata. Makanan yang disantap di hari imlek ini umumnya memiliki arti-arti khusus.

Tradisi 15 Hari Perayaan Hari Raya Imlek

Hari 1

Hari penyambutan Dewa Langit dan Tanah. Banyak yang berpantang makanan daging di hari ini karena dipercaya dapat menambah umur kebahagiaan.

Hari 2

Hari untuk berdoa kepada Tuhan dan leluhur. Pada hari ini orang-orang sangat baik terhadap anjing dan memberi makanan yang baik kepada anjing, karena dipercaya hari kedua adalah hari ulang tahun-nya anjing.

Hari 3&4

Kedua hari ini adalah hari penghormatan kepada mertua.

Hari 5

Hari ini orang-orang berdiam dirumah untuk menyambut Dewa Kekayaan. Tidak ada yang berkungjung ke rumah saudara ataupun teman karena dipercaya dapat membawa ketidakberuntungan kepada dua belah pihak.

Hari 6

Orang-orang dapat mengungjungi saudara dan teman-teman secara bebas. Mereka juga mengungjungi tempat-tempat ibadah untuk kedamaian.

Hari 7

Hari ara petani menunjukkan hasil panennya. Para petani tersebut membuat minuman dari 7 macam sayuran/tumbuhan untuk merayakan upacara ini. Hari ke 7 juga dipercaya sebagai hari ulang tahun     manusia. Oleh sebab itu orang-orang memakan mie untuk mendapatkan umur panjang.

Hari 8

Orang-orang Fujian mengadakan reuni keluarga lagi dan pada malam harinya melakukan   penghormatan atau berdoa kepada Dewa Langit.

Hari 9

Orang-orang melakukan persembahan kepada Kaisar Giok.

Hari 10-12

Hari dimana saudara dan teman-teman harus diundang untuk makan malam.

Hari 13

Setelah makan makanan yang banyak dan padat pada hari sebelumnya, hari ini orang-orang memakan bubur untuk membersihkan pencernaan tubuh.

Hari 14

Hari untuk persiapan festival Lentera atau Cap Go Meh.

Hari 15

Hari festival Lentera yang meriah.

Tradisi Membersihkan Rumah

Seluruh rumah harus dibersihkan sebelum imlek tiba. Di malam sebelum imlek, semua sapu, sikat, penghisap debu dan alat-alat pembersih lainnya harus disimpan.
Tradisi membersihkan rumah jangan dilakukan pada hari imlek untuk menhindari keberuntungan tersapu pergi. Setelah hari imlek lewat, lantai harus dibersihkan. Sampah yang ada dikumpulkan.

Berdasarkan kepercayaan yang ada, menyapu sampah melewati ambang pintu akan menandakan menyapu salah satu anggota keluarga. Sedangkan menyapu sampah melalui pintu utama akan menandakan membuang keberuntungan keluarga.

Tradisi Perilaku Yang Baik

Semua hutang harus dilunasi sebelum hari imlek tiba dan tidak boleh meminjam di hari tersebut.

Selain itu, hati-hatilah dalam mengunakan kata-kata. Pakailah kata-kata yang baik. Hindari kata-kata atau cerita yang kurang baik. Pembicaraan mengenai masa lalu dihindarkan dengan membicarakan rencana ke depan di tahun yang baru.

Kepercayaan yang ada, bila anda menangis di hari imlek, maka anda akan menangis sepanjang tahun tersebut. Maka bagi anak yang nakan di hari itu didak diberi hukuman.

Tradisi Rapi dan Bersih

Di hari imlek, dipercaya untuk tidak mencuci rambut yang menandakan dapat mencuci semua keberuntungan di tahun baru. Baju berwarna merah sangat disarankan untuk merayakan hari raya imlek karena merah menandakan warna terang, warna ceria, serta keyakinan membawa masa depan yang ceria dan terang.

Segala perilaku dan tindakan selama hari imlek sangan menentukan tindakan kita untuk satu tahun lamanya.

Untuk anak-anak dan kerabat dekat yang belum menikah, akan diberikan Ang Pao yang berisikan sejumlah uang yang menandakan keberuntunga.

Kepercayaan Lainnya…

Kepercayaan lainnya masih banyak lagi berlaku di hari imlek, seperti kepercayaan menemui orang pertama dan mendengar kata pertama akan sangat berpengaruh dengan keberuntungan di tahun tersebut.

Dianggap akan mendatangkan ketidakberuntungan apabila menyapa orang saat masih di kamar tidur. Maka dari itu, walaupun tuan rumah sedang sakit, disarankan untuk berpakaikan dan duduk di ruang tamu.

Semua ini adalah tradisi yang berlaku di hari raya imlek. Namun, masyarakat sudah kurang mempercayai bahkan tidak percaya sama sekali dengan tradisi tersebut sekarang. Karena gaya hidup dan berubah dan asimilasi budaya lainnya, banyak masyarakat yang sudah tidak menjalankan tradisi tersebut. Tetapi masih ada juga yang menjalankan semuanya dan ada juga yang menjalankan beberapa kepercayaan saja. Ada baiknya kita tetap menjalankan tradisi dan kepercayaan ini semampu kita, karena ini adalah sebuah identitas bagi generasi penerus selanjutnya.

Read Full Post »

SEJAK usianya masih belasan tahun, Ong Gian (47) sudah mengenal gambang kromong. Petani di Neglasari, Tangerang, ini termasuk salah satu pemain gambang kromong dan sering tampil dalam acara-acara pesta perkawinan masyarakat Cina Benteng Tangerang.

Pada malam Imlek 2554, Ong Gian dan kelompoknya, “Sinar Harapan”, yang asal Desa Jelupang, Serpong, tampil di Khongcu Bio (tempat peribadatan masyarakat Khonghucu) di kawasan Pasar Lama, Tangerang.

“Keahlian ini warisan turun-temurun dari ayah dan kakek,” kata Ong Gian seusai pementasan, Sabtu (1/2) dini hari. Di Sinar Harapan, juga ada saudaranya, yakni Ong Kiong.

“Sehari saja tidak mendengar musik gambang kromong, hidup rasanya hampa, seperti sayur tanpa garam,” katanya.

Bagi masyarakat Cina Benteng-sebutan bagi komunitas Cina Tangerang-gambang kromong adalah bagian dari kesehariannya. Kesenian tradisional ini sangat populer. Setiap pesta perkawinan bisa dipastikan diramaikan dengan gambang kromong sebagai hiburan utama.

Menurut pengurus Majelis Agama Konghucu Tangerang, Joko Santosa, penampilan gambang kromong di Khongcu Bio Pasar Lama merupakan salah satu usaha mengenang perayaan Imlek tempo dulu.

Lagu-lagu yang dibawakan sebagian merupakan lagu klasik, seperti Cinte Manis Berdiri, Semar Gurem, Gula Ganting, dan Pecah Piring. Disebut lagu klasik karena lagu-lagu itu jarang dapat dimainkan oleh pemain musik yang masih muda. Tak heran bila pada malam Imlek lalu, penyanyi yang membawakan lagu-lagu klasik itu usianya sudah lanjut, 77 tahun.

Meski usianya sudah uzur, Ny Masnah (77) yang mengaku sudah menyanyi sejak 60 tahun lalu terlihat masih segar saat tampil di panggung. Tidak heran, dia memang sering tampil dalam berbagai pesta perkawinan masyarakat Cina Benteng di Curug, Tigaraksa, Legok, Serpong, Teluknaga, dan Batuceper.

Meski penghasilannya tak seberapa, Masnah menganggap gambang kromong adalah bagian penting hidupnya. Kesenian tradisional itu pula mata pencariannya.

Ia pula satu-satunya penyanyi lagu klasik gambang kromong yang masih hidup di Tangerang. Memang ada dua penyanyi muda lagi di Sinar Harapan, tetapi mereka baru belajar dan belum bisa menyanyikan lagu-lagu klasik.

Saat ini tercatat sekitar 20 kelompok musik gambang kromong di Tangerang. Mereka biasa menerima pesanan manggung untuk menghibur tetamu dalam pesta perkawinan dengan tarian cokek dan pesta keluarga masyarakat Cina Benteng tradisional, khususnya di pedesaan.

Para pemain musik pada umumnya orang-orang Cina Benteng, yang memperoleh keahlian secara turun-temurun.

Go Jin (45) yang biasa memainkan alat musik teh yan mengaku sudah 20 tahun bergabung dalam grup-grup gambang kromong yang berbeda dan sering tampil di kampung-kampung Cina Benteng di Legok, Tangerang. Lelaki yang sehari-harinya pengojek ini termasuk pemain langka karena tidak sembarang orang bisa memainkan teh yan, semacam rebab berukuran kecil yang berasal dari Cina.

GAMBANG kromong yang cikal-bakalnya dari etnis Cina itu memang merupakan contoh musik yang sudah beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut sinolog Universitas Indonesia, Eddy Prabowo Witanto, tidak ada yang tahu pasti kapan gambang kromong mulai disukai masyarakat Cina Benteng.

Di Jakarta, gambang kromong saat ini sering ditampilkan dalam berbagai acara yang diadakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun yang diadakan masyarakat Betawi, Meski para pemain musiknya bukan orang-orang Cina seperti di Tangerang, itu menegaskan adanya pembauran yang harmonis antara unsur Indonesia dan unsur Cina seperti terlihat pada peralatan musiknya.

Selain teh yan, sejumlah alat musik yang berasal dari Cina adalah kong an yan (semacam rebab berukuran sedang) dan shu kong (semacam rebab berukuran besar). Sedangkan alat musik khas Indonesia, selain kromong, juga ada gambang, alat musik yang memiliki 18 sumber suara dari bilah, terbuat dari kayu, berasal dari Jawa dan Sunda. Juga kemong, semacam gong kecil berasal dari gamelan Jawa dan Sunda.

Sementara kendang, semacam tambur dengan dua permukaan, juga merupakan perangkat gamelan Jawa, Sunda, dan Bali yang fungsinya memberi irama.

Di tengah gencarnya serbuan budaya pop di Jakarta, gambang kromong masih bertahan dalam masyarakat Betawi meski usaha lebih banyak dilakukan pemerintah melalui beragam acara yang diselenggarakannya.

Tapi, di Tangerang, gambang kromong betul-betul hidup dan masih eksis dalam masyarakat tradisional Cina Benteng yang menganggap kesenian ini bagian penting dari kebudayaan dan tradisi mereka.

Beberapa lagu lama yang terkenal antara lain Pobin Kong Ji Lok, Pobin Pe Pan Tau, Gula Ganting, Lopan Ce Cu Teng, dan Pobin Pe Pan Tau, sedangkan lagu modern antara lain Balo-balo, Stambul Bila, Onde-onde, dan Stambul Lama. Sebagian lagu itu sudah direkam untuk konsumsi orang-orang asing dalam compact disc (CD) berjudul Music from the Outskirts of Jakarta oleh Smithsonian Folkways Recordings. [ksp]

Source: Kompas, Senin 3 Februari 2003

Read Full Post »