Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘tradisi cina’

Dulu, Main Liong Takut Didatangi Petugas Koramil

Sejak 1965, segala bentuk budaya Tionghoa dibungkam Pemerintahan Orde Baru. Angin keterbukaan pada era reformasi sejak 1998 membuat budaya Tionghoa tampil lagi. Bahkan, mulai 2003 ini, Imlek dijadikan hari libur nasional. Bagaimana isi hati etnis Tionghoa Solo soal ini?

TANGGAL 1 Februari 2003 ditetapkan sebagai hari libur nasional untuk menghormati Tahun Baru Imlek atau 1 cia gwee 2554. Tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tak pernah menetapkan 1 cia gwee sebagai hari libur nasional. Penetapan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional yang dilakukan pemerintah mulai 2003 itu rupanya menimbulkan reaksi beragam di kalangan etnis Tionghoa Solo. Ada yang merasa senang, tapi ada juga yang memiliki perasaan biasa-biasa saja.

”Sebagai pribadi, penetapan tahun baru imlek sebagai hari libur nasional itu tidak menimbulkan perasaan yang luar biasa. Sebab, saya lahir di sini, besar juga di sini. Kalau bapak saya masih hidup, mungkin perasaannya sangat lain, mungkin saja sangat bahagia karena bapak saya lahir di Tiongkok,” ujar Willy Tandyo, salah seorang etnis Tionghoa warga Pasar Kliwon.

Kendati demikian, Willy sangat menghargai langkah pemerintah Indonesia yang kini bersedia menetapan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. ”Saya sangat menghargai pemerintah. Sebab, perlakukan yang diskriminatif sudah mulai dihapus,” ujar Willy.

Keterangan senada dilontarkan Joko Pranantyo, Sekjen Perkumpulan Hoo Hap (rukun gabung), sebuah Perkumpulan etnis Tionghoa di Solo, yang dihubungi secara terpisah. ”Berbahagialah warga etnis Tionghoa di Indoensia karena saat ini kita sudah dianggap sama dengan yang lainnya. Paling tidak, etnis Tionghoa sudah diperlakukan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Tidak seperti dulu yang selalu disembunyikan.Padahal, kita ini ada,” ujar Joko yang juga dikenal dengan nama Lie Kok Ping.

Anehnya, di kalangan etnis Tionghoa yang ditemui Radar Solo, ternyata ada juga yang enggan memberikan komentar tentang perasaan pribadinya setelah Tahun Baru Ilmek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Menurut Willy Tandyo, hal itu wajar. ”Karena mereka khawatir ada jadi rerasan,” ujarnya.

Apa maksudnya jadi rerasan, Willy tak menjelaskannya.Namun, seorang tokoh tua Tionghoa yang enggan disebut namanya mengatakan, masih ada sisa-sisa trauma warga Tionghoa karena bertahun-tahun ”dibungkam” pemerintah Orde Baru. ”Dulu, menampilkan Liong untuk kelengkapan ritual di klenteng saja harus sembunyi-sembunyi. Kita takut didatangi petugas Koramil, karena memang dilarang,” ujar tokoh yang wanti-wanti tak disebutkan namanya ini.

Kini, pemberangusan terhadap kesenian dan budaya tersebut telah menjadi masa lalu. Bahkan, dalam perayaan Imlek tahun ini, enam perkumpulan etnis Tionghoa di Solo bergabung membentuk panitia khusus untuk memperingati Imlek secara terbuka. Di antaranya menampilkan tiga grup Barongsai untuk dikiriab. Keenam perkumpulan itu adalah Fu Jing, Perkumpulan Hoo Hap, Persatuan Masyarkat Surakarta (PMS), Himpunan Persaudaraan Hakka Surakarta, Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN), dan Forum Komunikasi Guru Bahasa Tionghoa (FKGBT) Solo.

”Ini merupakan ungkapan syukur kami karena perlakukan diskriminatif yang berlangsung sekitar tiga dasa warsa sudah tidak ada lagi,” ujar Adjie Chandra, salah seorang rohaniawan dari Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN) Solo. Selain itu, perayaan tidak dilakukan dengan acara yang bernuansa hura-hura, tetapi berupa bakti sosial berupa pengobatan massal di lima kecamatan dan pemberian santuan kepada yayasan umat agama lain.

Punya Dua Makna: Tradisi dan Ritual Keagamaan

MAKNA peringatan Tahun Baru Imlek bagi warga Tionghoa di Solo rupanya tidak seragam. Sebagian beranggapan bahwa peringatan Imlek hanya sebagai tradisi warisan leluhurnya dari Tiongkok. Namun, ada juga yang memaknainya sebagai peringatan hari keagamaan Konghucu. Mengapa demikian?

SEORANG pengamat budaya Tionghoa dari Himpunan Perkumpulan Hakka Surakarta, Iswahyudya, pernah menegaskan, perayaan Tahun Baru Imlek bukan sebagai perayaan hari keagamaan. Alasannya, perayaan Imlek itu sudah ada sebelum kalender Imlek yang dipakai saat Ini ditetapkan sebagai penanggalan resmi. Sekretaris Perkumpulan Hoo Hap Solo Joko Pranantyo juga beranggapan demikian. ”Perayaan Tahun Baru Imlek itu tidak lebih sekedar tradisi para leluhur dari Tiongkok. Konon, perayaan ini adalah untuk menyambut datangnya musim semi saatnya para petani di Tiongkok mulai bercocok tanam,” katanya.

Keterangan serupa juga dipaparkan Willy Tandyo, salah seorang etnis Tionghoa warga Pasar Kliwon. ”Bagi saya, perayaan tahun baru Imlek itu hanya sebagai tradisi.”

Sementara Adjie Chandra, salah seorang rohaniawan dari Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN) Solo, punya pandangan lain. Menurut dia, perayaan datangnya Tahun Baru Imlek merupakan bagian dari peringatan keagamaan, Konghucu. Adjie mengakui bahwa munculnya perbedaan makna peryaan Tahun Baru Imlek tersebut tidak lepas dari sejarah lahirnya kalender Imlek sendiri.

Adjie mengakui bahwa penanggalan Imlek memang cukup unik. Penanggalan Imlek awalnya berdasarkan perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi (lunarcalender) yang sudah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Namun, penanggalan imlek juga memperhitungkan peredaran bumi mengelilingi matahari (solar calender). Karena itu, dalam kalender Imlek terjadi penyesuaian melalui mekanisme ‘Lun Gwee’ (bulan ulang). Yakni penyisipan dua bulan tambahan yang dilakukan setiap lima tahun.

Menurut catatan sejarah, penanggalan Imlek di Tiongkok sudah dimulai sejak 2637 SM (sebelum masehi), yakni semasa Kaisar Oet Tee/Huang Ti (2698-2598 SM). Namun, setiap terjadi pergantian dinasti, sistem penanggalan yang dipakai juga sering berganti. Penanggalan Dinasti Ke/Hsia (2205-1766 SM) memakai penanggalan yang dikenal dengan sebutan He Lek, yakni penanggalan berdasarkan solar yang penetapan tahun barunya bertepatan dengan tibanya musim semi. Sementara Dinasti Sing/Ien (1766-1122 SM) menetapkan tahun barunya mengikuti Dinasti He, yakni jatuh pada akhir musin dingin.

Namun, menurut Adjie, Nabi Khongcu yang hidup pada zaman Dinasti Cou/Chin (1122-255 SM) akhirnya memilih penanggalan Dinasti He dianggap yang paling tepat. Karena itu, Nabi Khongcu pernah bersabda: “Pakailah penanggalan Dinasti He …” Kenapa penanggalan Dinasti He dianggap paling baik? ”Pertimbangan Nabi Khongcu, karena penanggalan Dinasti He dianggap cukup baik bagi pedoman untuk mewujudkan kesejahateraan umat manusia,” jelas Adjie.

Bahkan, ketika Kaisar Han Bu Tee (140-86 SM) dari Dinasti Han (206 SM-220) menetapkan agama Konghucu sebagai agama negara, juga menetapkan penanggalan He Lek sebagai kalender resmi, baik masyarakat maupun pemerintahan. Sedangkan tahun pertamanya dihitung dari tahun kelahiran Nabi Khongcu, yaitu 551 SM. Karena itu, penanggalan Imlek dan penanggalan masehi berselisih 551 tahun. ”Karena penanggalan itu dihitung sejak Nabi Khongcu lahir maka tahun Imlek juga lazim disebut sebagai Khongculek,” jelas Adjie.

SUTRISNO BUDIHARTO (SUGENG TILE), Solo (RADAR SOLO, Februari 2003)

Read Full Post »

Salah satu warisan kesenian Tionghoa di Tanah Air dan yang kini sulit ditemui dan nyaris punah akibat jarang dipentaskan adalah Wayang Potehi.

Seiring kebebasan berekspresi belakangan ini Wayang Potehi kembali dimainkan, seperti yang dipentaskan oleh seorang dalang Wayang Potehi di Semarang, dalam menyemarakkan peringatan Tahun Baru Imlek. Bagi kalangan orang tua warga Tionghoa, menonton petunjukan Potehi adalah nostalgia dimasa kanak – kanak mereka, dimana saat itu Wayang Potehi kerap dipentaskan.

Wayang yang bentuknya serupa dengan wayang golek ini, merupakan kesenian warisan leluhur Tionghoa di Tanah Air, yang usianya telah mencapai ratusan tahun. Banyaknya kaum muda Tionghoa yang tidak mengenal jenis kesenian ini adalah hal yang wajar, karena Wayang Potehi memang jarang dipentaskan.

Sejak tahun 1967, Wayang Potehi dilarang dipentaskan seiring dengan kondisi politik nasional saat itu. Namun belakangan, Wayang Potehi kembali dipentaskan lagi meski sangat jarang diketemui. Satu dari sedikit dalang Wayang Potehi tersisa yang saat ini adalah Thio Tiong Jie, seniman keturunan Thionghoa warga Semarang yang telah menekuni dunia Wayang Potehi sejak tahun 50 an.

Dalam suasana perayaan Imlek Wayang Potehi kini kerap dimainkan, seperti yang dipentaskan dalam Thio Tiong Jie di wawasan pecinan Semarang Tengah. Kali ini cerita yang dimainkan pria berusia 75 tahun ini adalah kisah Sie Jien Kwui menyerang kota Kien Haek Wan.

Cerita Wayang Potehi biasanya mengambil lakon sejarah kerajaan Cina tempo dulu, hingga kisahnya sub warga keturunan di Tanah Air, seperti halnya kesenian wayang lainnya. Pentas Wayang Potehi juga diiringi dengan alunan musik berupa musik asli tempo dulu dari Cina. (Agus Hermanto/Dv/Sup/indosiar.com)

Read Full Post »

Tradisi Persiapan Untuk Hari Raya Imlek

  • Membersihkan tempat usaha serta tempat tinggal seminggu sebelum hari imlek tiba. Tradisi ini menandakan menghilangkan semua yang lama dan menyambut sesuatu yang baru. Tradisi yang ada percaya bahwa pada hari imlek, sebaiknya tidak melakukan bersih-bersih karena dapat menghilangkan rejeki baru yang datang.
  • Rumah dihias dengan bunga-bunga segar dan pohon kecil yang menandakan keberuntungan.
  • Menggantungkan hiasan-hiasan kertas yang bertuliskan puisi-puisi keberuntungan di dinding. Umumnya hiasan tulisan tersebut digantungkan berpasangan menggunakan kertas berwarna merah. Ini melambangkan harapan yang baik untuk kebahagiaan, kesehatan dan lainnya.
  • Menyediakan sepiring jeruk di tengah meja yang menandakan keberuntungan. Biasanya jeruk disusun berbentuk pyramid. Selain jeruk, juga bisa digunakan apel merah yang memiliki arti yang sama.
  • Membeli baju baru dan menggunting rambut. Ini dipercaya akan membawa keberuntungan untuk satu tahun ke depan.
  • Membayar lunas seluruh hutang yang ada.

Malam Menjelang Hari Raya Imlek

  • Semua keluarga berkumpul bersama menikmati makan malam besar bersama dengan menu dan makanan yang spesial.
  • Anak-anak dibiarkan bermain hingga larut malam. Karena dipercaya semakin malam anak bermain, semakin panjang umur bagi orang tuanya.
  • Bermain kembang api untuk mengusir hawa buruk.
  • Menyambut dan mengundang Dewa dapur ke rumah dengan menyalakan kembang api.
  • Memberikan Ang Pao atau amplop merah berisi uang. Ini dipercaya dapat membuat anak-anak tidak cepat menjadi tua.
  • Mengunjungi tempat ibadah untuk berdoa, baik kepada leluhur maupun untuk kedamaian, kebahagiaan serta keberuntungan di tahun baru.
  • Mengirimkan kartu ucapan tahun baru kepada teman-teman dan keluarga.

Di Hari Raya Imlek

  • Membuka seluruh pintu dan jendela.
  • Hati-hati dengan ucapan serta tindakan anda. Ucapkan kata dan berbuat tindakan yang baik. Karena dipercaya, apa saja yang terjadi di hari raya imlek akan menentukan keberuntungan keluarga selama setahun mendatang.
  • Memakai baju baru.
  • Tidak di cuci karena dipercaya keberuntungan dapat tercuci habis.
  • Mengunjungi keluarga dan teman dengan membawa hadiah, berupa tanaman, bunga atau makanan.
  • Berusaha untuk tidak memecahkan sesuatu, karena membawa nasib kurang baik.
  • Menikmati makanan spesial di hari raya imlek. Di hari spesial ini, umumnya masyarakat China menikmati makanan yang disebut 8 jenis nasi berharga. Makanan ini dibuat dari beras ketan yang mewakili permata. Makanan yang disantap di hari imlek ini umumnya memiliki arti-arti khusus.

Tradisi 15 Hari Perayaan Hari Raya Imlek

Hari 1

Hari penyambutan Dewa Langit dan Tanah. Banyak yang berpantang makanan daging di hari ini karena dipercaya dapat menambah umur kebahagiaan.

Hari 2

Hari untuk berdoa kepada Tuhan dan leluhur. Pada hari ini orang-orang sangat baik terhadap anjing dan memberi makanan yang baik kepada anjing, karena dipercaya hari kedua adalah hari ulang tahun-nya anjing.

Hari 3&4

Kedua hari ini adalah hari penghormatan kepada mertua.

Hari 5

Hari ini orang-orang berdiam dirumah untuk menyambut Dewa Kekayaan. Tidak ada yang berkungjung ke rumah saudara ataupun teman karena dipercaya dapat membawa ketidakberuntungan kepada dua belah pihak.

Hari 6

Orang-orang dapat mengungjungi saudara dan teman-teman secara bebas. Mereka juga mengungjungi tempat-tempat ibadah untuk kedamaian.

Hari 7

Hari ara petani menunjukkan hasil panennya. Para petani tersebut membuat minuman dari 7 macam sayuran/tumbuhan untuk merayakan upacara ini. Hari ke 7 juga dipercaya sebagai hari ulang tahun     manusia. Oleh sebab itu orang-orang memakan mie untuk mendapatkan umur panjang.

Hari 8

Orang-orang Fujian mengadakan reuni keluarga lagi dan pada malam harinya melakukan   penghormatan atau berdoa kepada Dewa Langit.

Hari 9

Orang-orang melakukan persembahan kepada Kaisar Giok.

Hari 10-12

Hari dimana saudara dan teman-teman harus diundang untuk makan malam.

Hari 13

Setelah makan makanan yang banyak dan padat pada hari sebelumnya, hari ini orang-orang memakan bubur untuk membersihkan pencernaan tubuh.

Hari 14

Hari untuk persiapan festival Lentera atau Cap Go Meh.

Hari 15

Hari festival Lentera yang meriah.

Tradisi Membersihkan Rumah

Seluruh rumah harus dibersihkan sebelum imlek tiba. Di malam sebelum imlek, semua sapu, sikat, penghisap debu dan alat-alat pembersih lainnya harus disimpan.
Tradisi membersihkan rumah jangan dilakukan pada hari imlek untuk menhindari keberuntungan tersapu pergi. Setelah hari imlek lewat, lantai harus dibersihkan. Sampah yang ada dikumpulkan.

Berdasarkan kepercayaan yang ada, menyapu sampah melewati ambang pintu akan menandakan menyapu salah satu anggota keluarga. Sedangkan menyapu sampah melalui pintu utama akan menandakan membuang keberuntungan keluarga.

Tradisi Perilaku Yang Baik

Semua hutang harus dilunasi sebelum hari imlek tiba dan tidak boleh meminjam di hari tersebut.

Selain itu, hati-hatilah dalam mengunakan kata-kata. Pakailah kata-kata yang baik. Hindari kata-kata atau cerita yang kurang baik. Pembicaraan mengenai masa lalu dihindarkan dengan membicarakan rencana ke depan di tahun yang baru.

Kepercayaan yang ada, bila anda menangis di hari imlek, maka anda akan menangis sepanjang tahun tersebut. Maka bagi anak yang nakan di hari itu didak diberi hukuman.

Tradisi Rapi dan Bersih

Di hari imlek, dipercaya untuk tidak mencuci rambut yang menandakan dapat mencuci semua keberuntungan di tahun baru. Baju berwarna merah sangat disarankan untuk merayakan hari raya imlek karena merah menandakan warna terang, warna ceria, serta keyakinan membawa masa depan yang ceria dan terang.

Segala perilaku dan tindakan selama hari imlek sangan menentukan tindakan kita untuk satu tahun lamanya.

Untuk anak-anak dan kerabat dekat yang belum menikah, akan diberikan Ang Pao yang berisikan sejumlah uang yang menandakan keberuntunga.

Kepercayaan Lainnya…

Kepercayaan lainnya masih banyak lagi berlaku di hari imlek, seperti kepercayaan menemui orang pertama dan mendengar kata pertama akan sangat berpengaruh dengan keberuntungan di tahun tersebut.

Dianggap akan mendatangkan ketidakberuntungan apabila menyapa orang saat masih di kamar tidur. Maka dari itu, walaupun tuan rumah sedang sakit, disarankan untuk berpakaikan dan duduk di ruang tamu.

Semua ini adalah tradisi yang berlaku di hari raya imlek. Namun, masyarakat sudah kurang mempercayai bahkan tidak percaya sama sekali dengan tradisi tersebut sekarang. Karena gaya hidup dan berubah dan asimilasi budaya lainnya, banyak masyarakat yang sudah tidak menjalankan tradisi tersebut. Tetapi masih ada juga yang menjalankan semuanya dan ada juga yang menjalankan beberapa kepercayaan saja. Ada baiknya kita tetap menjalankan tradisi dan kepercayaan ini semampu kita, karena ini adalah sebuah identitas bagi generasi penerus selanjutnya.

Read Full Post »

Asal-usul Hari Raya Imlek atau Sin Cia berasal dari negara Tiongkok. Tradisi ini sudah dimulai jauh sebelum ajaran Tao, Khonghucu ataupun agama Buddha muncul dan berkembang di sana. Di Tiongkok, dikenal empat musim, yakni musim semi (Chun), musim panas (He), musim gugur (Shiu) dan musim dingin (Tang). Siklus keempat musim tersebut secara indah diilustrasikan sebagai perjalanan hidup umat manusia yang diawali dengan lahir (semi), tumbuh menjadi dewasa (panas), usia lanjut (gugur) dan meninggal (dingin), yang pada hakikatnya menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan di dunia ini tidak kekal adanya. Untuk itu, seharusnya mereka hidup berdampingan, saling menghormati dan saling mengasihi.

Dahulu kala di Provinsi Hokkian, saat musim dingin sering dilanda hujan besar dan badai salju, sehingga beberapa daerah dataran rendah sering mengalami kebanjiran, sehingga penduduk mengungsi ke dataran yang lebih tinggi. Sebagai bekal, mereka membuat semacam kue yang terbuat dari beras dengan sedemikian rupa, sehingga tahan lama dan tidak basi. Kue tersebut hingga sekarang menjadi tradisi setiap menjelang Sin Cia. Kue keranjang dibuat dalam berbagai ukuran dan disusun dalam keranjang dan disebut kue keranjang.

Kue-kue yang dihidangkan biasanya lebih manis daripada biasanya. Diharapkan, kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih manis. Di samping itu, dihidangkan pula kue lapis sebagai perlambang rezeki yang berlapis-lapis.
Kue mangkok dan kue keranjang juga merupakan makanan yang wajib dihidangkan pada waktu sembahyang menyambut datangnya Tahun Baru Imlek. Biasanya kue keranjang disusun ke atas, dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya. Ini sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok. Ada juga makanan yang dihindari dan tidak dihidangkan, misalnya bubur. Bubur tidak dihidangkan, karena makanan ini melambangkan kemiskinan.

Tradisi menyambut Sin Cia biasanya sudah dimulai 15 hari sebelum Sin Cia, di mana ibu-ibu rumah tangga sudah mempersiapkan diri dengan membersihkan/mengecat rumahnya, sedangkan ritualnya dimulai seminggu sebelum hari H, yaitu tanggal 24 bulan 12 (Imlek) dengan mengadakan upacara sembahyang di hadapan altar Dewa Dapur (Caokun Kong).

Konon menurut cerita, setiap akhir tahun mulai dari tanggal 25 bulan 12 hingga tanggal 5 bulan 1 (Imlek), Caokun Kong akan naik ke sorga untuk melaporkan baik dan buruknya perbuatan dari keluarga pemilik altar dan kepada yang sembahyang, akan memohon kepada Caukun Kong agar seisi keluarganya dilaporkan hal-hal yang baik saja. Untuk itu, biasanya dalam sembahyang tersebut disajikan makanan berupa manisan-manisan.
Kemudian, satu hari menjelang Sin Cia pada pagi hari, diadakan upacara sembahyang kepada para leluhur di hadapan altar sembahyang di setiap rumah. Jika tidak memiliki altar leluhur, maka akan disediakan satu meja di pintu muka rumah sebagai altar untuk upacara. Dan pada malam harinya, seluruh anggota keluarga biasanya akan berkumpul di rumah orangtua ataupun yang dituakan atau juga di rumah makan untuk makan malam bersama. Setelah makan malam, berbagai acara dilakukan untuk menyambut detik-detik tahun baru, seperti bakar petasan, atraksi barongsai serta sembahyang di kelenteng-kelenteng (vihara).

Pada esok hari, tanggal 1 tahun 1 (Imlek) akan berkumandang salam “Sin Chun Kiong Hi, Thiam Hok Thiam Siu, Ban Shu Ju I” yang disampaikan ketika menjumpai sanak keluarga dan handai tolan. Salam di atas (dialek Hokkian) artinya “Salam bahagia di musim semi yang baru, semoga bertambah rezeki dan panjang usia, semoga segala yang dicita-citakan dapat tercapai.”

Pada hari itu, anak-anak atau cucu-cucu akan mengenakan baju baru, kemudian menyampaikan ucapan selamat kepada ayah bundanya atau kakek neneknya. Mereka akan mendapatkan ang pao (bungkusan merah) berisikan uang yang diterima dengan penuh suka-cita. Rangkaian perayaan Sincia akan diteruskan dengan upacara Keng Thi Kong (Sang Pencipta) yang diadakan malam tanggal 8 bulan 1. Sembahyang ini untuk menyatakan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa (Thian) atas segala keberuntungan, keselamatan dan kebahagiaan yang diperoleh sepanjang tahun yang lalu, dan mereka bermohon agar pada tahun yang baru ini akan diperoleh hal yang sama. Tujuannya adalah sujud kepadaNya dan memohon kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru dimasuki.

Untuk upacara sembahyang Keng Thi Kong ini, sengaja disiapkan seperangkat meja yang bentuknya tinggi, yang melambangkan menjunjung tinggi kepada Tuhan. Sajiannya berupa buah-buahan, manisan dan sayur-sayuran (tidak boleh disajikan makanan berupa daging dari barang bernyawa/hewan sembelihan). Buah-buahan yang umumnya disajikan adalah pisang mas (melambangkan hati yang jujur untuk mencapai keberhasilan), jeruk bali (melambangkan upaya untuk mencapai kesuksesan) dan sepasang tebu yang melambangkan keluarga yang hidup di dalam keharmonisan lahir dan batin. Demikian pula kue yang disajikan, biasanya kue mangkok yang berarti mekar rezekinya dan kue kura panjang usianya bagaikan kura-kura.

Rangkaian terakhir perayaan Sincia adalah Cap Go Meh, yaitu pada tanggal 15 bulan 1 malam hari (Imlek), yaitu pesta di malam bulan purnama yang pertama pada tahun yang baru. Biasanya pada malam tersebut, gadis-gadis pingitan berbondong-bondong ke luar rumah untuk cuci mata di bawah sinar rembulan, diiringi bunyi petasan dan cahaya bunga-bunga kembang api.

Read Full Post »

Seandainya roh kebudayaan Indonesia memperlihatkan lapis-lapis kesenian rakyat yang mewakili seluruh etnik penghuni bumi pertiwi ini, di salah satu lapis pasti akan tampak khazanah kesenian yang mewakili etnik Cina atau Tionghoa. Namun, barangkali kekayaan karya seni masyarakat keturunan Cina yang bernapaskan tradisi negeri leluhur itu, sejauh ini masih belum dianggap sebagai kesenian rakyat sebagaimana karya seni masyarakat etnik lain.

Karya seni etnik Cina di Indonesia yang juga dikenal sebagai kesenian Mandarin, secara formal memang belum pernah mendapat pengakuan sebagai kesenian rakyat. Meskipun demikian, bersamaan dengan menggeloranya gerakan reformasi yang ditandai dengan iklim kebebasan, masyarakat Cina yang termasuk bagian dari rakyat Indonesia memperoleh hak kebebasan yang sama dalam mengekspresikan karya seninya. Salah satu karya seni musik Mandarin yang berkembang secara lestari di Solo, adalah musik Erhu yang dengan setia ditekuni dan dipelihara musisi Budi Kristianto Tandiyo.

Seni musik Erhu adalah kesenian yang memanfaatkan instrumen musik gesek rebab Cina, tidak berbeda dengan rebab dalam seni karawitan Jawa atau biola yang digesek dalam posisi berdiri. Musik Erhu, menurut Budi, di negeri asalnya daratan Tiongkok lebih banyak digunakan untuk mengiringi pementasan wayang Potehi. Irama alat musik Erhu yang konon dikembangkan seseorang bernama Sin Chiang yang meniru dari perangkat bunyi-bunyian dari “jantung Asia” Mongolia itu, di masa lalu juga banyak terdengar di kelenteng-kelenteng tempat wayang Potehi dipentaskan.

Universalitas seni musik Erhu yang diadaptasikan ke bumi nusantara, ternyata tidak menjadikan irama dari efek getar dawainya asing di telinga masyarakat Indonesia. Instrumen musik Erhu yang biasanya hanya untuk mengiringi adegan-adegan wayang Potehi dengan irama monotonis, di tangan musisi Budi menjadi sangat kaya warna dan memenuhi citarasa siapa saja. Musisi peranakan Cina yang lahir dan dibesarkan di Kota Solo itu, begitu piawai mengaransir lagu-lagu dengan iringan gesekan musik Erhu yang akrab dengan semua lapisan pendengarnya. Seusai menggelar musik Erhu bersama dua puteri dan seorang saudara sepupunya dalam pentas budaya Mandarin, di kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Mesen, Solo, baru-baru ini, Budi mengungkapkan, dia mengenal musik Erhu sejak usia 10 tahun. Musisi berusia 55 tahun tersebut, pada awalnya berguru menggesek instrumen musik rebab Cina itu kepada seorang pemain dan musisi pengiring wayang Potehi, almarhum Liem Tan Kwan.

Sepeninggal gurunya Liem Tan Kwan yang hanya sempat mengajarnya sekira dua tahun, Budi yang telah menguasai teknik memainkan instrumen musik Erhu, terpaksa beralih berlatih instrumen musik biola. Selama belajar biola itu, musisi yang sehari-hari sebagai pengusaha alat-alat berat itu melakukan eksplorasi memainkan instrumen musik Erhu menggunakan partitur seni musik modern. Hasilnya, getaran dawai instrumen musik Erhu dengan warna suaranya yang khas, mampu menghasilkan irama instrumentalia lagu-lagu apapun — selain lagu-lagu tradisional Cina juga lagu daerah, lagu berirama pop maupun lagu-lagu Barat — menurut kehendak musisinya.

Dalam pentas yang lalu, Budi dan kerabatnya menyajikan sederet lagu yang bercirikan citarasa berbeda-beda, seperti lagu Mandarin “Sie Yang Yang” yang melukiskan suasana perayaan di Tiongkok, lagu legendaris “Bengawan Solo”, lantunan lagu yang melukiskan semangat persatupaduan, termasuk lagu-lagu lain yang berirama Barat atau pop Indonesia dan lagu-lagu daerah. Dominasi irama instrumen musik Erhu yang dipadu dengan alat musik perkusi tradisional juga khas Cina yang disebut “yung gim”, serta dilengkapi instrumen electone organ, menjadikan seni musik Erhu semakin hidup dan kaya warna

Apabila kita mau mengakui secara jujur, yang namanya rakyat Indonesia sebenarnya bukan hanya mereka yang lahir sebagai suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Dayak, Bugis, dan suku-suku lain. Namun, etnis yang berasal dari Arab, India, dan sebagainya, termasuk etnis Cina yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, adalah rakyat Indonesia. Dari sini barangkali bisa dipahami, bahwa seni musik Erhu maupun karya seni lain, seperti liong dan samsu yang dilestarikan masyarakat Cina di Indonesia, adalah juga kesenian rakyat yang tidak berbeda dengan kesenian rebana yang bernapaskan Timur Tengah atau orkes melayu yang mengadaptasi musik India.

Musisi Budi Kristianto Tandiyo yang menggeluti instrumen musik Erhu sejak bocah adalah salah seorang yang telah lama mengalami penindasan budaya akibat terkena peraturan yang melarang pelaksanaan tradisi budaya Cina. Kalau sekarang dia masih setia berkesenian musik Erhu — di samping sebagai musisi biola yang cukup andal — itu bukan disebabkan masih adanya ikatan batin dengan para leluhurnya, namun karena dia ingin melestarikan karya seni yang dipandangnya universal itu.

Selama dalam suasana penindasan budaya — setidaknya sepanjang pemerintah Orde Baru 32 tahun — Budi yang sempat memuseumkan instrumen Erhu di almarinya semakin tekun belajar menggesek biola. Sebagai musisi yang pada awalnya berlatih menggesek dawai rebab Cina yang disebut Erhu, menganggap bermain biola lebih mudah ketimbang memainkan instrumen Erhu.

“Kesulitan memainkan instrumen musik Erhu terletak pada teknik menekan dawai di tongkat nada. Berbeda dengan biola yang pada tongkatnya terdapat tuts pengatur nada, pada tongkat nada rebab Cina Erhu tidak ada tutsnya. Pengaturan nada pada Erhu lebih banyak menggunakan perasaan,” jelas Budi penuh semangat.

Tingkat kesulitan dalam memainkan rebab Cina itu, dianggap Budi sebagai sebuah keberuntungan yang memudahkan dia menguasai teknik permainan biola. Sebab dalam teknik bermain Erhu, para pemain bisa mengekspresikan berbagai warna suara, termasuk tiga macam nada vibratto, seperti untuk melukiskan suasana batin yang sedih, luapan emosi saat marah dan semacamnya. Kendati demikian, sebagai musisi yang sangat menguasai permainan biola, Budi tetap merasa instrumen musik biola lebih ekspresif karena alat musik dari Barat itu memiliki lebih banyak nada dengan tingkat presisi lebih baik dibanding Erhu.

Atmosfer kebebasan yang berhembus sejak Presiden Gus Dur berkuasa sampai masa kini, tidak pernah disia-siakan Budi Kristianto. Berbekal sebuah rebab Cina yang semula dia kandangkan di almari, yang kemudian ditambah dengan alat baru yang dia beli dari Tiongkok, dalam beberapa tahun terakhir Budi dengan semangat melatih anak-anaknya maupun beberapa orang yang berminat bermain musik Erhu. Dia terpaksa melakukan pelatihan sendiri sebab sisa-sisa pemain musik Erhu di Indonesia tinggal beberapa orang saja dan itu pun sudah berusia tua yang bermukim di berbagai tempat.

Hasil jerih payah musisi instrumen tradisional Cina itu kini mulai menampakkan hasil. Beberapa orang musisi binaannya kini bisa dikatakan sudah jadi dan terampil memainkan rebab Cina, yang berdasarkan sejarah berasal dari Mongolia dan dikembangkan bangsa Han di Tiongkok tersebut.

Kebangkitan seni musik tradisional Erhu kini memang belum populer. Menurut Budi, dia bersama kelompoknya belum banyak tampil di pentas-pentas berskala akbar. Dia menyebut, meskipun penampilan para pemusik Erhu kelompok Budi cukup memukau, selama ini mereka menyebut masih terbiasa main dari rumah ke rumah. Penampilan di pentas, katanya, masih bisa dihitung dengan jari, antara lain di auditorium Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dua kali, di “Jendela Budaya” Bandung dengan dukungan etnis Cina nonteknik lift sekali dan di beberapa tempat lain termasuk saat tampil sepentas dengan para pemusik dari RRC.

Dalam menggairahkan seni musik Erhu di Indonesia yang dalam pandangannya sudah menjadi bagian dari kesenian rakyat Indonesia, Budi mengangankan suatu saat instrumen rebab Cina yang kini masih harus impor dari Tiongkok dapat diproduksi lagi di tanah air. Sebelum munculnya larangan terhadap upacara tradisi dan budaya Cina yang berdampak dengan terkuburnya kesenian tradisional Cina, alat musik Erhu pernah diproduksi di Semarang. Akibat belum adanya pembuat alat musik gesek tradisional itu, Budi maupun para pemusik rebab Cina itu harus mendatangkannya dari Cina, dengan harga 3.000 yen atau setara Rp 15 juta untuk sebuah instrumen Erhu.

Apakah obsesi itu, termasuk semangatnya untuk mengembangkan Erhu sebagai salah satu jenis kesenian rakyat akan berhasil? Kita tunggu saja! (Tok Suwarto/”PR”)***

Read Full Post »

Versi Raja Ho Le

Raja Ho Le adalah seorang raja yang tamak dan senang memperkaya diri
sendiri. Rakyatnya sangat menderita, apalagi saat sang raja
memerintahkan tabib istana agar membuatkan dia obat untuk memperpanjang
umur. Ratu Jango sang permaisuri tidak setuju dengan permintaan sang
suami, maka dicurilah ramuan obat tersebut kemudian diminumnya. Beberapa
saat setelah meminum ramuan tersebut, ratu Jango menghilang dan muncul
dalam mimpi seorang suhu. Lewat mimpi tersebut sang ratu mengatakan
bahwa dirinya sekarang telah bersemayam di bulan dan menyebut dirinya
Dewi Bulan. Sejak saat itu setiap tahun menurut kalendar Cina,
masyarakat Cina selalu memperingati perjuangan ratu Jango dalam
menyelamatkan masyarakat dari ketamakan Raja Ho Le.

Versi perjuangan prajurit Cina

Kue bulan bermula ketika cina dibawah penjajahan Mongolia. Pada akhir
rejim mereka, pemerintahan sangatlah buruk. Raja hidup berhura-hura,
padahal rakyat mereka penuh penderitaan. Saat keadaan ekonomi negara
kacau, ada beberapa aktivis menyerukan revolusi. Sebuah revolusi
direncanakan. Namum, karena pengawasan yang ketat dari pemerintahan
mongolia, pesan dan surat dari para pemberontak tidak mungkin
disebarkan. Akhirnya seorang aktivis bernama Chu Yuen-chang, dan deputi
seniornya, Liu Po-wen memperkenalkan sejenis makanan yang disebut “kue
bulan”. Ia mengatakan dengan memakan kue bulan saat festival terang
bulan (Chung Chiu festival) akan menjaga mereka dari penyakit dan segera
terbebas dari krisis. Liu berpakaian sebagai pendeta Tao membawa dan
membagikan kue bulan penduduk-penduduk kota.
Saat Chung Chiu festival tiba, rakyat membuka kue bulan dan mereka
menemukan secarik kertas dalam kue, “habisi orang-orang tartar tanggal
15 pada bulan ke delapan”. Sebagai hasilnya semua rakyat bangkit
berevolusi melawan pemerintahan Mongolia dan mereka berhasil !!!. Sejak
saat itu kue bulan menjadi salah satu makanan tradisional saat terang bulan.

Versi Hou Yi dan Chang Oh


Jaman dahulu kala, dilangit terdapat 10 matahari menghangatkan langit.
Selama musim panas, Kesepuluh matahari bersinar sangat terik, yang
mengakibatkan kekeringan dimana-mana. Pohon-pohon pada mati. Kehidupan
menjadi sangat sulit untuk kaisar dan rakyatnya

Sang Kaisar kemudian memanggil pemanah terkenal yang dapat memanah
sangat jauh dengan ketepatan tinggi. Kaisar memerintahkan Hou Yi untuk
memanah sembilan dari sepuluh matahari dari langit. Dengan menggunakan
kesembilan panah saktinya, pemanah ini berhasil memanah kesembilan
matahari dan musim panas menjadi normal kembali. Rakyat menjadi
sejahtera kembali.

Kaisar menghadiahkan Hou Yi dengan uang dan perhiasan yang banyak. Hou
Yi menggambil uang tersebut untuk menikahi wanita yang sangat ia cintai
Chang Oh. Pernikahan ini sangat meriah dan keluarga dari Hou Yi dan
Chang Oh sangat bahagia. Kemudian Kaisar memanggil kembali Hou Yi untuk
membangun sebuah istana baru. Hou Yi bukan saja seorang pemanah
terhebat, ia juga arsitek terbaik kaisar. Istana yang paling indah dan
besar dibangun, didekorasi penuh emas permata dan diisi dengan sutra dan
kerajinan tangan yang sangat indah.

Kaisar sangat kagum dengan Kehebatan Hou Yi. Kali ini, Kaisar memilih
untuk tidak menghadiahkan Hou Yi emas permata, melainkan ia
menghadiahkan Hou Yi botol kecil yang berisi elixir keabadian. Kaisar
memperingatkan Hou Yi agar berhati-hati untuk tidak meminum keseluruhan
isi botol, melainkan dibagi bersama istrinya Chang Oh.

Hou Yi berlari segera kerumah untuk membagi hadiahnya bersama Chang Oh.
Chang Oh begitu gembira, dan langsung meminum keseluruh isi elixir
keabadian. Setelah menelan elixir tersebut, kepalanya berputar dengan
cepat dan iapun terjatuh. Tiba-tiba badannya menjadi sangat ringan dan
ia mulai melayang kelangit! iapun menjadi sangat frustasi dan
berpeganggan terhadap apa saja yang ia dapat raih, kursi, tumbuhan,
bahkan suaminya yang dapat mencegahnya melayang. Terakhir ia memegang
kandang kelinci yang berisi kelinci putihnya. Hou Yi berteriak dengan
putus asa melihat istrinya yang cantik Chang Oh melayang kebulan.

Chang Oh terjebak dibulan untuk hidup selamanya tanpa suaminya, ia hanya
ditemani kelinci putihnya. Hanya satu keajaiban muncul yaitu jembatan
bulan muncul malam hari, setahun sekali, saat bulan kedelapan lunar
kalender, yaitu sekitar bulan September dan Oktober. Jembatan itu
menghubungkan Bulan dan Bumi. Selama malam itu Chang Oh dan Hou Yi
kembali bersama untuk waktu yang singkat akan kebahagiaan. (This history
is came from Colette Chooey)

Sebagai lambang kerja keras

Biasanya dirayakan oleh keluarga petani pada pertengahan musim gugur.
Selain sebagai perayaan yang melambangkan hasil akhir dari kerja keras
selama setahun di ladang, perayaan ini juga bertepatan dengan hari ulang
tahun Dewa Bumi. Para keluarga petani menunjukkan rasa terima kasih
mereka pada Dewa Bumi dan Tuhan yang dilambangkan dengan bulan.

Tradisi

Tradisi ini dalam aktualisasi kegiatan selalu dilengkapi atribut seni budaya Tionghoa terutama hiasan “lampion”. Memang atribut yang paling menonjol dalam penyambutan bulan purnama adalah Lampion karena disaat malam lampion-lampion dinyalakan lampu akan tampak menawan dan mempunyai suatu keindahan tersendiri. Kini lampion ini telah berkembang hingga dalam berbagai bentuk dan ukuran raksasa memberikan tontonan keindahan tersendiri.
Soal lampion dalam penyambutan bulan purnama bahkan pernah tercatat dalam Musium Rekor Indonesia (MURI) atas pemasangan lampion terbanyak tahun 2002 sebanyak 4500 di Sanggar Agung pantai ria kenjeran Surabaya Jawa Timur, namun demikian rekor tersebut telah dipecahkan oleh Batam tahun ini dalam nuansa yang berbeda ketika menyambut malam Cap Go Me Imlek 2537/masehi 12 Februari 2006 lalu, yang tercatat dalam Musium Rekor Indonesia atas pemasangan lampion terbanyak di Indonesia sebanyak 5077 atas prakarsai Even Organizer Lialogue pimpinan Mellita bersama Harsono Ketua Pitun Batam.
Nuansa ini juga selalu diikuti pertunjukan seni budaya di lokasi yang lapang dan menawan seperti telaga, danau, pantai. Lokasi semacam ini dimasa lampau masih memungkinkan, namun di era modernisasi dengan pembangunan yang pesat konsekuensinya lokasi yang baik dan strategis nyaris tidak memungkinkan lagi. Yang memungkinkan adanya panggung pentas seni dan masih terpelihara oleh sebagian rumah ibadah klenteng dewasa ini dalam kegiatan malam hiburan rakyat atas swadaya masyarakat.
Orang Tionghoa zaman dahulu jarang berpergian terlebih kaum hawa, pada perayaan malam purnama ini dimanfaatkan oleh para muda-mudi untuk meniknamati hiburan rakyat dan sekaligus memungkinkan saling tatap muka/berkenalan yang dimanfaatkan saling mencari persahabatan bahkan ada yang hingga menuju kursi plaminan/pernikahan.
Adakalanya bangsawan tertentu yang mempersuntingkan putrinya dengan melemparkan anyaman bola kain kepada pemuda yang memenuhi kriteria jika mendapatkan bola akan diambil sebagai menantu. Hal unik ini di era kini sudah tidak memungkinkan lagi karena adanya interaksi sosial yang efektif.
Di era kini soal perjodohan masih diperlukan sehingga biro jodohpun sudah banjir dan juga dengan pengaturan semakin baik dan banyak terutama melalui media cetak maupun elekronik, kesempatan ini masyarakat banyak juga yang memanfaatkan

diambil dari beberapa sumber

Read Full Post »

Menurut penanggalan Imlek, tanggal 19 Juni adalah hari Duan Wu, mungkin kalau di Indonesia lebih dikenal sebagai hari Peh Cun yang terkenal akan Bacang-nya. Menurut tradisi orang Tionghoa, Peh Cun termasuk salah satu dari tiga hari besar orang Tionghoa selain hari raya Imlek dan hari raya Tiong Jiu (kue bulan).

Walaupun perayaan ini sudah berlangsung, tidak ada salahnya kita mengenal lebih dekat tentang makna dan latar belakang hari besar budaya Tiongkok ini.

Duan 「端」adalah singkatan dari Kai Duan「開端」 yang bermakna awal Chu「初」, orang zaman dulu menyebut tanggal 1 sebagai Chu Yi 「初一」, maka tanggal 5 sebagai sinonimnya: Duan Wu 「端五」. Orang kuno juga biasa menyebut 5 / Wu seba gai siang hari Wu Ri 「午日」, maka dari itu bulan 5 tanggal 5 juga dinamakan Duan Wu 「端午」.

Mengenang Qu Yuan

Kebiasaan adat istiadat yang berkaitan dengan hari Duan Wu tidak sedikit, mengenai asal usulnya terdapat tidak hanya 1 dongeng saja, umumnya diperkirakan hari Duan Wu berawal dari peringatan Qu Yuan (baca: chu yuen) hingga tersebar luas. Konon pada masa Zhan Guo (Negara Saling Berperang, tahun 403 – 221 SM), Raja Chu Huai menolak prakarsa Qu Yuan untuk berkoalisi dengan Negara Qi dan berperang melawan Qin, namun diperdayai oleh Zhang Yi ke Negara Qin, ia dipaksa merelakan wilayah berikut kota-kotanya. Raja Qu Huai selain merasa dipermalukan juga terhina, menjadi risau hatinya dan tak lama terserang penyakit dan mangkat di Negara Qin.

Qu Yuan

Qu Yuan yang setia lagi-lagi mengusulkan secara tertulis kepada sang pengganti: Raja Qing Xiang, dengan harapan beliau bisa menjauhi para pejabat pengkhianat, akan tetapi Raja Qing Xiang selain tidak bisa menampung aspirasi tulus Qu Yuan, malah membuangnya. Negara Qin melihat peluang sudah matang dan dengan segara mengirimkan bala tentara, dalam waktu singkat maka Negara Qu telah kehilangan sebagian besar teritorialnya, rakyatnya dibantai. Qu Yuan yang masih setia, menyaksikan semuanya ini, hatinya bagaikan teriris, dalam kesedihan yang amat sangat maka pada tahun 278 SM, kalender Imlek tanggal 5 bulan 5, dia bunuh diri dengan menceburkan dirinya ke Sungai Mi Luo.

Para nelayan mendengar berita tersebut menggunakan perahu berusaha meng entas jenazah Qu Yuan namun gagal, maka akhirnya mereka berbondong-bondong menceburkan makanan ke dalam sungai, dengan harapan agar para ikan, udang dan kepiting sesudah makan kenyang tidak sampai mengganggu jenazah Qu Yuan. Dongeng tersebut secara cerdik dan pas dikaitkan dengan tradisi makan kue Bacang, lomba perahu naga dan lain sebagainya dengan meloncatnya Qu Yuan ke dalam sungai.

Hari Raya Naga

Cendekiawan patriot terkenal, Tuan Wen Yiduo di dalam tesisnya “Kajian Duan Wu” berpendapat: Suku bangsa kuno Yue menjadikan naga sebagai totem mereka, kala itu karena orang-orang merasa terancam kekuatan alam, beranggapan suatu makhluk memiliki kekuatan alami supranatural, oleh karena itu menganggap makhluk-makhluk tersebut adalah leluhur dan dewa pelindung seluruh suku mereka, yang di zaman kini disebut se bagai “Totem Naga”.

Maka mereka menato makhluk berupa naga pada tubuhnya dan di atas peralatan sehari-harinya, agar memperoleh perlindungan dari Totem Naga, demi menunjukkan bahwasanya mereka berstatus “anak naga”, mengokohkan hak dilindungi bagi dirinya sendiri. Mereka tidak saja bertradisi memotong rambut dan menato tubuh, bahkan pada setiap tanggal 5 bulan 5 kalender Imlek, mengadakan sebuah persembahan besar Totem Naga. Di antaranya terdapat permainanyang mirip dengan perlombaan pada dewasa ini, itulah asal usul tradisi lomba naga ketika dimulai.

Namun lomba perahu naga bukan hanya adat istiadat orang Yue, tapi suku bangsa lainnya juga memiliki kebiasaan itu, di dalam penemuan benda-benda kuno zaman Zhan Guo dapat terlihat sedikit kecenderungan tersebut, waktu terselenggaranya lomba perahu naga juga sama.

Kebiasaan hari Duan Wu

Berdasarkan catatan sejarah, jauh pada zaman Qun Chiu (Tahun 722 – 481 S.M.), menggunakan daun untuk membungkus beras dijadikan berbentuk tanduk sapi juga ada yang menggunakan tabung bambu diisi beras ditutup rapat dan dipanggang sampai matang, disebut “Bacang Tabung”. Ini boleh dibilang adalah cikal bakal kue Bacang.

Pada bulan 5 (kalender Imlek), saat musim panas memakan kue pendingin tubuh terbuat dari beras, yang dibungkus dengan daun dan dimasak sampai matang, aroma wanginya terasa unik, sesudah menyantapnya bisa menetralisir panas-dalam dan menurunkan sifat api dalam tubuh, terasa nyaman bagi pencernaan, sungguh suatu makanan yang sesuai dengan musimnya. Pada saat itu, orang-orang berganti busana musim kemarau dan mengutamakan yang serba ringan dan sejuk. Dilihat dari tradisi berpakaian dan makananya, hari Duan Wu dianggap ada hubungan yang akrab dengan tibanya musim kemarau, tentu ada benarnya juga.

Read Full Post »

SEJARAH Cina Tangerang memang sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai dan merupakan permukiman pertama masyarakat Cina di sana. Struktur tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal-bakal Kota Tangerang. Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya, sekarang tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas pecinan.

Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang Cina dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-daerah lainnya. Menurut Tagara Wijaya, yang bernama asli Oey Tjie Hoeng (77), yang menjabat Ketua Umum Klenteng Boen Sen Bio (1967-1978), Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi (sistem barter) barang orang- orang Cina yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.

Mengenai asal-usul kata Cina Benteng, menurut sinolog dari Universitas Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA, tidak terlepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang.

Pada saat itu, kata Eddy, banyak orang Cina Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah “Cina Benteng”.

Tahun 1740, terjadi pemberontakan orang Cina menyusul keputusan Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkapi orang-orang Cina yang dicurigai. Mereka akan dikirim ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik VOC.

Pemberontakan itu dibalas serangan serdadu kompeni ke perkampungan-perkampungan Cina di Batavia (Jakarta). Sedikitnya 10.000 orang tewas dan sejak itu banyak orang Cina mengungsi untuk mencari tempat baru di daerah Tangerang, seperti Mauk, Serpong, Cisoka, Legok, dan bahkan sampai Parung di daerah Bogor.

Itulah sebabnya banyak orang Cina yang tinggal di pedesaan di pelosok Tangerang-di luar pecinan di Pasar Lama dan Pasar Baru.

Meski demikian, menurut pemerhati budaya Cina Indonesia, David Kwa, mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru itu tetap disebut sebagai Cina Benteng.

Sebagai kawasan permukiman Cina, di Pasar Lama dibangun kelenteng tertua, Boen Tek Bio, yang didirikan tahun 1684 dan merupakan bangunan paling tua di Tangerang. Lima tahun kemudian, 1869, di Pasar Baru dibangun kelenteng Boen San Bio (Nimmala).

Kedua kelenteng itulah saksi sejarah bahwa orang-orang Cina sudah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad silam.

Dalam penelitiannya, sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, antara lain menyebutkan, sekitar 80 persen dari 19.191 warga Kelurahan Sukasari di Kotamadya Tangerang adalah orang Cina Benteng. Angka statistik April 2002 ini tidaklah mengherankan karena Pasar Lama masuk dalam wilayah Sukasari.

Menurut Sherly, kehidupan masyarakat Cina Benteng memang keras agar bisa bertahan hidup. Sebab, sebagian besar pekerjaan mereka bukan dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai petani di pedesaan.

YANG unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa ina meskipun hidup kesehariannya juga banyak yang petani miskin.

Logat Cina Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat, “Mau ke mana”, misalnya, kata “na” diucapkan lebih panjang sehingga terdengar “mau kemanaaaa”.

Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong yang merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat Cina Benteng. Sebab, gambang kromong selalu dimainkan dalam pesta-pesta perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya merupakan budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.

Meski demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Ini terlihat pada tata cara upacara perkawinan dan kematian. Salah satunya tampak pada keberadaan “Meja Abu” di setiap rumah orang Cina Benteng.

“Tidak usah dipertentangkan. Realitasnya, masyarakat Cina Benteng memang sudah berakulturasi dengan lingkungan lokal, tapi mereka juga masih memegang adat istiadat kepercayaan nenek moyang dan leluhur mereka,” kata Eddy.

Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain Cap Go Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Pek Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan), dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan).

Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. “Juga salam (pai) tetap dipertahankan dalam keluarga Cina Benteng pada saat bertemu dengan orang lain,” kata Asiuntapura Markum (55) yang lahir di Tangerang.

Yang khas dari masyarakat Cina Benteng adalah pakaian pengantin yang merupakan campuran budaya Cina dan Betawi. Pakaian pengantin laki-laki, kata Eddy, merupakan pakaian kebesaran Dinasti Ching, seperti terlihat dari topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi Cina-Betawi yang tampak pada kembang goyang.

SECARA ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.

Ny Kenny atau Lim Keng Nio (48) yang tinggal di Gang Cilangkap RT 03 RW 02, Kelurahan Sukasari, Tangerang, misalnya, setiap hari harus bangun pagi-pagi untuk membawa dagangan kue ke pasar. Ong Gian, petani sawah di Neglasari yang nyambi menjadi pemain musik gambang kromong, juga harus bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup.

Fenomena Cina Benteng, kata Eddy, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Cina memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi.

David Kwa lebih melihat fenomena Cina Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat Cina Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat David yakin, persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kepentingan politik.

Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Bahkan, Ridwan Saidi, pengamat budaya dari Betawi, melihat realitas Cina Benteng sebagai wajah lain Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin.
Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng.

Read Full Post »

Cheongsam adalah pakaian wanita 1 piece dengan corak bangsa Tionghoa dan menikmati kesuksesan dalam dunia busana internasional. Dalam bahasa Mandarin dikenal juga dengan qípáo (旗袍), qípáor (旗袍儿), ch’i-p’ao. Baju gaya dan kadang-kadang ketat ini dahulu dibuat tahun 1920 di Shanghai dan dibuat oleh wanita dengan kelas sosial yang tinggi.

Nama “Cheongsam” berarti “pakaian panjang”, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari dialek Propinsi Guangdong (Canton) di Tiongkok. Pada daerah lain, termasuk Beijing, dikenal dengan nama “Qipao”, yang terdapat asal usul dibelakangnya.

Pada awal bangsa Manchu (Dinasti Qing) menguasai Tiongkok, mereka mengorganisasi rakyat, terutama bangsa Manchu, ke dalam “panji” (qi) dan disebut “rakyat panji” (qiren), yang lalu menjadi sebutan bagi seluruh bangsa Manchu. Wanita bangsa Manchu mengenakan pakaian yang lalu dinamakan “qipao” atau “pakaian panji”. Revolusi tahun A.D. 1911 menggulingkan kekuasaan bangsa Manchu, namun kebiasaan pakaian wanita bangsa Manchu tetap bertahan, kemudian dikembangkan dan menjadi pakaian tradisional wanita bangsa Cina.

Mudah dikenakan dan nyaman, bentuk pakaian Cheongsam cocok dengan bentuk tubuh wanita bangsa Tionghoa. Leher tinggi, lengkung leher baju tertutup, dan lengan baju bisa pendek, sedang atau panjang, tergantung musim dan selera. Memiliki kancing di sisi kanan, bagian dada longgar, selayak di pinggang, dan dibelah dari sisi, yang kesemuanya semakin menonjolkan kecantikan dari wanita yang mengenakannya.

Cheongsam tidak terlalu sudah dibuat. Tidak pula memiliki banyak perlengkapan, seperti sabuk, atau selendang.

Kecantikan lain dari Cheongsam adalah dapat dibuat dari berbagai macam bahan dan memiliki keragaman panjang, dapat digunakan secara santai atau resmi. Juga menampilkan kesederhanaan dan keanggunan, kemewahan dan kerapian. Tidak mengherankan banyak disukai oleh wanita, tidak hanya di Tiongkok namun juga di negara-negara lain di dunia.

Read Full Post »

t1kebahagiaangandaSebuah karakter Tionghoa yang banyak dikenal, Kebahagiaan Ganda, yang tertera pada kertas merah atau potongan kertas selalu ada pada saat pernikahan.

Terdapat asal usul dibalik itu.

Pada masa Dinasti Tang, terdapat seorang pelajar yang ingin pergi ke Ibukota untuk mengikuti ujian negara, dimana yang menjadi juara satu dapat menempati posisi menteri.

Sayangnya, pemuda itu tersebut jatuh sakit di tengah jalan saat melintasi sebuah desa di pegunungan. Untung seorang tabib dan anak perempuannya membawa pemuda itu ke rumah mereka dan merawat sang pelajar. Pemuda tersebut dapat sembuh dengan cepat berkat perawatan dari tabib dan anak perempuannya.

Setelah sembuh, pelajar itu harus meninggalkan tempat tersebut untuk melanjutkan perjalanan ke Ibukota. Namun pelajar itu mengalami kesulitan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada anak perempuan sang tabib, begitu juga sebaliknya. Mereka saling mencintai.

Maka gadis itu menulis sepasang puisi yang hanya sebelah kanan agar pemuda itu melengkapinya, “Pepohonan hijau dibawah langit pada hujan musim semi ketika langit menutupi pepohonan dengan gerhana”

Setelah membaca puisi tersebut, sang pelajar berkata, “Baiklah, saya akan dapat mencapainya meskipun bukan hal yang mudah. Tetapi kamu harus menunggu sampai aku selesai ujian”. Sang gadis mengangguk-angguk.

Pada ujian negara, sang pelajar mendapatkan tempat pertama, yang mana sangat dihargai oleh kaisar. Pemuda itu juga bercakap-cakap dan diuji langsung oleh kaisar.

Keberuntungan ternyata pada pihak sang pemuda.

Kaisar menyuruh pemuda itu agar membuat sepasang puisi.

Sang kaisar menulis: “Bunga-bunga merah mewarnai taman saat angin memburu ketika taman dihiasai warna merah setelah sebuah ciuman”.

Pemuda itu langsung menyadari bahwa puisi yang ditulis oleh sang gadis sangat cocok dengan puisi kaisar, maka ia menulis puisi sang gadis sebagai pasangan puisi kaisar.

Kaisar sangat senang melihat bahwa puisi yang ada merupakan sepasang puisi yang harmonis dan serasi sehingga ia menobatkan pemuda itu sebagai menteri di pengadilan dan mengijinkan pemuda itu untuk mengunjungi kampung halamannya sebelum menduduki posisinya.

Pemuda itu menjumpai sang gadis dengan gembira dan memberitahu kepada sang gadis puisi dari kaisar.

Tidak lama kemudian mereka menikah.

Untuk pesta perayaan pernikahan, sepasang karakter Tionghoa, bahagia, dipasang bersamaan pada selembar kertas merah dan ditempel di dinding untuk menunjukkan kebahagiaan dari dua kejadian yang bersamaan, pernikahan dan pengangkatan sang pemuda.

Sejak saat itu, tulisan Kebahagiaan Ganda menjadi sebuah tradisi yang dilakukan pada setiap pesta pernikahan.

Read Full Post »